Monday 1 July 2013

i'tikaf



I’TIKAF
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Qro’atul Qutub
 yang di ampu oleh Bpk .Darul Muntaha


Disusun oleh :

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
 UNIVERSITAS SAINS AL – QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2013
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
I’tikaf adalah salah satu ibadah yang sering dilakukan oleh nabi Muhammad SAW. Hukum Itikaf adalah sunnah, kecuali apabila seseorang mewajibkan atas dirinya sendiri, dengan mengeluarkan nazar (nadzr).
B.     Tujuan
Adapun tujuannya adalah:
1.      Menyelesaikan salah satu tugas yang diberikan oleh dosen
2.      Sebagai bahan pokok diskusi antar kelompok
3.      Sebagai sumbangan pemikiran pembaca yang mengagap baik makalah ini.






















BAB II
PEMBAHASAN

1.      TA’RIEF  I’TIKAF
Ditinjau dari segi bahasa:  I’tikaf bermakna :berdiam di suatu tempat untuk melakukan sesuatu pekerjaan ; yang baik maupun yang buruk dan tetap dalam keadaan demikian.
Adapun pengertian i’tikaf menurut istilah adalah berdiam di masjid dalam rangka ibadah dari orang yang tertentu, dengan sifat atau cara yang tertentu dan pada waktu yang tertentu (Lihat Fathul Bari 4 : 344)

2.      DALIL-DALIL DISYARIATKANNYA I’TIKAF

Firman Allah swt.
  وَلاَ تُـبَاشِرُوْهُنَّ وَأَنْـتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ  البقرة : 187
“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid”(QS. Al Baqarah : 187)
dalam hadits ‘Aisyah berkata :
“Adalah Nabi beri’tikaf sepuluh akhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
3.      HUKUM I’TIKAF
Telah sepakat ulama kita bahwa hukum asal dari i’tikaf adalah sunnah, bahkan Imam Ibnu ‘Arabi Al Maliki dan Ibnu Baththal memasukkannya ke dalam sunnah muakkadah (yang dikuatkan) karena Rasulullah tidak pernah meninggalkannya selama hidupnya. Dan hukum asal ini berubah menjadi wajib jika seseorang bernazar untuk melakukannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar  bahwasanya beliau pernah bernazar untuk beri’tikaf satu malam di masjid Haram, maka Rasulullah bersabda :
  أَوْفِ بِنَذْرِكَ
“Tunaikan nazarmu itu”. HR. Bukhari dan Muslim
Hukum i’tikaf ini berlaku baik untuk muslim ataupun muslimah sebagaimana yang kabarkan oleh Shafiyyah ketika beliau menziarahi Nabi pada saat  i’tikaf :
“Adalah Nabi (beri’tikaf) di masjid dan di sisinya terdapat istri-istri beliau (sedang beri’tikaf pula)…”. HR. Bukhari dan Muslim Al Imam Ibnul Mundzir berkata: “Perempuan tidak boleh beri’tikaf hingga dia meminta izin kepada suaminya dan jika perempuan itu beri’tikaf tanpa izin maka suaminya boleh mengeluarkannya (dari i’tikaf). Dan jika seorang suami telah mengizinkan (istrinya) lalu mau mencabut izinnya maka hal itu dibolehkan baginya”.  (Lihat Fathul Bari 4 : 351)
4.      FADHILAH (KEUTAMAAN) I'TIKAF
Adapun fadhilahnya maka i’tikaf mempunyai beberapa keutamaan yang tidak terdapat pada ibadah lainnya, diantaranya:
·         I’tikaf merupakan wasilah (cara) yang digunakan oleh Nabi صل اللة عليه وسلم untuk mendapatkan malam Lailatul Qadr
·         Orang yang melakukan i’tikaf akan dengan mudah mendirikan shalat fardhu secara kontinu dan berjamaah bahkan dengan i’tikaf seseorang selalu beruntung atau paling tidak berpeluang besar mendapatkan shaf pertama pada shalat berjama’ah
·         I’tikaf juga membiasakan jiwa untuk senang berlama-lama tinggal dalam masjid, dan menjadikan hatinya terpaut pada masjid
·         I’tikaf akan menjaga puasa seseorang dari perbuatan-perbuatan dosa. Dia juga merupakan sarana untuk menjaga mata dan telinga dari hal-hal yang diharamkan
·         Dengan I'tikaf membiasakan hidup sederhana, zuhud dan tidak tamak terhadap dunia yang sering membuat kebanyakan manusia tenggelam dalam kenikmatannya.
5.      WAKTU I’TIKAF
I’tikaf boleh dikerjakan kapan saja, namun lebih ditekankan pada bulan Ramadhan, karena itulah yang sering dilakukan oleh Rasulullah.Dan lebih utama dikerjakan pada sepuluh akhir Ramadhan untuk mendapatkan Lailatul Qadr sebagaimana yang ditunjukkan hadits Abu Sa’id Al Khudri.
I’tikaf yang wajib harus dikerjakan sesuai jumlah hari yang telah dinazarkan, sedangkan i’tikaf yang sunnah tidak ada batasan maksimalnya dan hal ini disepakati oleh keempat ulama madzhab, dan jumhur ulama berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal ketika beri’tikaf hal ini berdasarkan atsar dari Umar dimana beliau mengabarkan kepada Nabi tentang nazar beliau untuk beri’tikaf satu malam  di masjid Haram, lalu Rasulullah memerintahkan kepadanya untuk menunaikan nazarnya. Imam Nawawi mengatakan : “Boleh seseorang beri’tikaf sesaat dan dalam waktu yang singkat…”. )Al Minhaj 8 : 307)
Telah ikhtilaf ulama kita tentang kapan awal masuknya seseorang yang mau beri’tikaf ke dalam masjid. Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang memulai i’tikaf hendaknya memasuki masjid sebelum matahari terbenam. Pendapat yang kedua mengatakan, bahwa i’tikaf baru dimulai sesudah shalat shubuh, berdasarkan hadits ‘Aisyah:
“Adalah Nabi jika hendak beri’tikaf, beliau shalat shubuh kemudian masuk ke (mu'takaf) tempat i’tikafnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Pendapat ini dipegangi oleh Al Auza’iy, Al Laits dan Ats Tsauri serta dipilih oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dan Al Imam Ash Shon’ani.Dari dua pendapat yang ada maka yang paling dekat dengan dalil adalah pendapat yang kedua, yaitu masuk sesudah shalat shubuh, namun pendapat yang pertama lebih berhati-hati. Wallahu A’lam.
6.      RUKUN-RUKUN I’TIKAF
·         Niat, karena tidak sah suatu amalan melainkan dengan niat.
·         Tempatnya harus di masjid. Dalilnya firman Allah yang artinya:
“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid” (QS. Al Baqarah : 187)
Keharusan beri’tikaf di masjid ini berlaku pula untuk wanita, dalam hal ini merupakan pendapat Jumhur Ulama bahwa wanita tidak sah beri’tikaf di masjid rumahnya karena tempat itu tidaklah dikatakan masjid, lagi pula keterangan yang shahih menerangkan bahwa istri-istri Nabi melakukan i’tikaf di masjid Nabawi.
Dan berkata Al Hafizh Ibnu Hajar al-asqolani tentang i’tikafnya istri-istri nabi di masjid : “Hal ini menunjukkan disyariatkannya i’tikaf di masjid, karena seandainya tidak, tentu para istri-istri Nabi akan beri’tikaf di rumah-rumah mereka karena mereka telah diperintahkan untuk berlindung atau berdiam di rumah”. (Fathul Bari 4 : 352)
7.      MASJID YANG SAH DIPAKAI I’TIKAF
Para ulama telah berikhtilaf tentang syarat masjid yang sah untuk di gunakan i’tikaf namun diantara pendapat-pendapat yang ada maka pendapat yang pertengahan dan paling dekat dengan kebenaran adalah I'tikaf harus dilaksanakan di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah padanya karena shalat berjama’ah bagi laki-laki hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan atsar ‘Aisyah yaitu:
“Tidak ada i’tikaf kecuali di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah”. (HR. Ad Daraqutni dan Al Baihaqi)
Pendapat ini dipegangi pengikut madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad serta perkataan Hasan Al Bashri dan ‘Urwah bin Zubai. Ibnu Qudamah menjelaskan:“Disyaratkannya i’tikaf di masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah, karena shalat jama’ah itu wajib, dan ketika seseorang beri'tikaf di masjid yang tidak dilaksanakan shalat jama’ah akan mengakibatkan salah satu dari dua hal : meninggalkan shalat jama’ah yang merupakan kewajiban, yang kedua keluar untuk shalat di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah dan hal ini akan sering berulang padahal masih mungkin untuk menghindarinya, dan sering keluar dari tempat i’tikaf itu bertentangan dengan maksud/tujuan i’tikaf …”. (Al Mughni 4 : 461)
Jika seseorang i’tikaf di masjid jama’ah yang tidak dilaksanakan shalat Jum’at maka pada hari Jumat wajib atasnya untuk keluar shalat Jum’at dan i’tikafnya tidak batal karena dia keluar disebabkan udzur yang dibenarkan syariat dan hal tersebut hanya sekali dalam sepekan, dan ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Said bin Jubair, Hasan Al Bashri, Ibrahim An Nakhaaiy, Imam Ahmad, Ibnul Mundzir, Dawud Azh Zhohiri, Ibnu Qudamah, dan lain-lain


8.      ADAB-ADAB I’TIKAF
Ada beberapa adab yang hendaknya seseorang yang beri’tikaf memperhatikannya dan berusaha untuk melaksanakannya. Diantara adab-adab tersebut adalah :
1.      Memperbanyak ibadah-ibadah sunnah yang mendekatkan dirinya kepada Allah.
2.      Membuat bilik-bilik di masjid untuk digunakan berkhalwat sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi, terutama jika ada wanita yang ikut beri’tikaf, maka wajib atas wanita untuk membuat bilik-bilik tersebut agar terhindar dari ikhtilat (bercampur) dan saling pandang-memandang dengan lawan jenis.
3.      Meninggalkan perdebatan dan pertengkaran walaupun dia berada di pihak yang benar.
4.      Juga hendaknya menghindari dari mengumpat, berghibah, dan berkata-kata yang kotor, karena hal-hal tersebut terlarang di luar i’tikaf maka pelarangannya bertambah pada saat i’tikaf.
5.      Dan secara umum seluruh perbuatan dan perkataan yang tidak bermanfaat hendaknya ditinggalkan, karena semua hal itu akan mengurangi pahala beri’tikaf

9.      SYARAT-SYARAT I’TIKAF
وشرط المعتكف إسلام وعقل ونقاء عن حيض ونفاس وجنابة؛ فلا يصح اعتكاف كافر ومجنون وحائض ونفساء وجنب. ولو ارتد المعتكف أو سكر بطل اعتكافه.
(ولا يخرج) المعتكف (من الاعتكاف المنذور إلا لحاجة الإنسان) من بول وغائط وما في معناهما كغسل جنابة (أو عذر من حيض) أو نفاس، فتخرج المرأة من المسجد لأجلهما (أو) عذر من (مرض لا يمكن المقام معه) في المسجد، بأن كان يحتاج لفرش وخادم وطبيب أو يخاف تلويث المسجد كإسهال وإدرار بول. وخرج بقول المصنف لا يمكن إلخ المرضُ الخفيف كحُمَّى خفيفةٍ، فلا يجوز الخروج من المسجد بسببها.

مبطلات الاعتكاف
(ويبطل) الاعتكاف (بالوطء) مختارا ذاكرا للاعتكاف عالما بالتحريم. وأما مباشرة المعتكف بشهوة فتبطل اعتكافه إن أنزل، وإلا فلالهمش
Adapun syarat-syarat bagi orang yang i’tikaf :
1.      Islam
2.      Berakal sehat
3.      Suci dari daid, nifas, dan jinabah.
Maka tidak sah i’tikaf bagi orang :
1.      Orang kafir
2.      Orang gila
3.      Orang yang sedang dalam keadaan haid, nifas, dan jinabah.
Orang yang beri’tikaf tidak boleh dari i’tikaf yang dinadzarkan, kecuali bila ada hajat manusiawi seperti kencing, berak, dan yang semakna seperti itu seperti mandi jinabat. Atau karena udzur, seperti haid atau nifas. Maka boleh bagi perempuan keluar dari masjid, karena sebab kedua perkara itu, atau karena ndzur adanya penyakit yang tidak dapat menetap didalam masjid, sekiranya dia membutuhkan alas, pelayan dan dokter, atau khawatir mengotori masjid, seperti selalu berak dan kencing.
Perkataan musannif : penyakit “yang tidak memungkinkan” itu mengecualikan penyakit ringan seperti saskit panas yang sakitnya sementara, maka tidak boleh keluar dari masjid karena sebab tersebut. Menjadi bathal i’tikaf seseorang, sebab wathi, hal ini jika memang (orang yang beri’tikaf itu berfikir) itu berfikir dan ingat bahwa dirinya dalam keadaan sedang i’tikaf jika mengerti akan haramnya jima’ (wathi). Adapun ketemunya kulit orang yang i’tikaf disertai timbul syahwat, maka batal i’tikafnya, hal ini jika sampai keluar air mani, sedang jika tidak sampai keluar air mani, maka tidak membatalkan.
Orang yang beri’tikaf memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhinya yaitu:
Seorang muslim, mumayyiz (sudah mampu membedakan yang baik dan buruk),berakal, dan suci dari janabat, haidh, serta nifas.
10.  HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN SEWAKTU I’TIKAF
1.      Keluar untuk suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan.
Dalilnya hadits Aisyah ia berkata :
“Dan adalah Rasulullah jika sedang beri’tikaf di masjid, kadang beliau memasukkan kepalanya maka saya menyisirnya dan adalah beliau tidak masuk ke rumah kecuali karena kebutuhan yang manusiawi”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Malik berkata : “Tidaklah seseorang dikatakan beri’tikaf hingga dia meninggalkan hal-hal yang harus dia tinggalkan seperti menjenguk orang sakit, shalat jenazah, dan masuk ke rumah kecuali ada hajat insan Imam Az Zuhri menafsirkan hajat insan (kebutuhan yang manusiawi) sebagai kencing dan buang air besar, dan kedua hal ini merupakan ijma’ tentang bolehnya keluar masjid disebabkan kedua hal tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mundzir
2.      Menyisir rambut, mencukurnya, memotong kuku dan membersihkan badan dari berbagai kotoran”.(Lihat :Ma’alim As Sunan 2 : 578)
3.      Membawa kasur dan perlengkapan lainnya ke masjid.
4.      Menerima tamu dan mengantarkannya hingga ke pintu masjid. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ketika beliau diziarahi oleh istri beliau Shofiyyah .
5.      Makan dan minum di dalam masjid dengan tetap memelihara dan menjaga kebersihan dan kemuliaan masjid.


BAB III
KESIMPULAN
Seseorang yang berniat untuk beri’tikaf hendaknya mempertimbangkan maslahat dan mudharat. Jika dia adalah seorang pemuda yang sangat dibutuhkan oleh orang tuanya maka hendaknya dia mendahulukan hak orang tuanya karena hal tersebut wajib, namun jika dia diizinkan untuk beri’tikaf maka itulah yang utama. Demikian pula dengan orang yang bekerja di bidang jasa dan kepentingan masyarakat umum hendaknya mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan pribadi dan sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang diniatkan oleh hamba-hamba-Nya.
Adapun bagi mereka yang Allah muliakan dengan memberikan kesempatan untuk beri’tikaf di tahun ini hendaknya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, raihlah hikmah dan faidah i’tikaf, perhatikanlah adab-adabnya serta jauhkanlah dari hal-hal yang terlarang dan janganlah menjadi orang yang i’tikafnya tidak ubahnya dari sekedar berpindah tempat tidur saja. Mudah-mudahan dengan i’tikaf ini anda bisa mendapatkan malam yang lebih mulia dari seribu bulan : “Lailatul Qadr". (Al Fikrah)

No comments:

Post a Comment