I’TIKAF
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Qro’atul Qutub
yang di ampu oleh Bpk
.Darul Muntaha
Disusun oleh :
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS SAINS AL – QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
I’tikaf adalah
salah satu ibadah yang sering dilakukan oleh nabi Muhammad SAW. Hukum Itikaf adalah sunnah,
kecuali apabila seseorang mewajibkan atas dirinya sendiri, dengan mengeluarkan
nazar (nadzr).
B. Tujuan
Adapun tujuannya
adalah:
1.
Menyelesaikan
salah satu tugas yang diberikan oleh dosen
2.
Sebagai bahan
pokok diskusi antar kelompok
3.
Sebagai sumbangan pemikiran pembaca yang mengagap
baik makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
TA’RIEF I’TIKAF
Ditinjau dari segi bahasa:
I’tikaf bermakna :berdiam di suatu tempat untuk melakukan sesuatu pekerjaan ;
yang baik maupun yang buruk dan tetap dalam keadaan demikian.
Adapun pengertian i’tikaf menurut
istilah adalah berdiam di masjid dalam rangka ibadah dari orang yang tertentu,
dengan sifat atau cara yang tertentu dan pada waktu yang tertentu (Lihat Fathul
Bari 4 : 344)
2.
DALIL-DALIL DISYARIATKANNYA I’TIKAF
Firman Allah swt.
وَلاَ تُـبَاشِرُوْهُنَّ وَأَنْـتُمْ عَاكِفُونَ فِي
الْمَسَاجِدِ البقرة : 187
“Dan janganlah kamu campuri mereka itu,
sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid”(QS. Al Baqarah : 187)
dalam hadits ‘Aisyah berkata :
“Adalah Nabi beri’tikaf sepuluh akhir dari bulan Ramadhan hingga
beliau diwafatkan oleh Allah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. HUKUM I’TIKAF
Telah sepakat ulama kita bahwa hukum asal dari i’tikaf adalah
sunnah, bahkan Imam Ibnu ‘Arabi Al Maliki dan Ibnu Baththal memasukkannya ke
dalam sunnah muakkadah (yang dikuatkan) karena Rasulullah tidak pernah meninggalkannya
selama hidupnya. Dan hukum asal ini berubah menjadi wajib jika seseorang
bernazar untuk melakukannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Umar bahwasanya beliau pernah bernazar
untuk beri’tikaf satu malam di masjid Haram, maka Rasulullah bersabda :
أَوْفِ بِنَذْرِكَ
“Tunaikan nazarmu itu”. HR. Bukhari dan
Muslim
Hukum i’tikaf ini berlaku baik untuk muslim ataupun muslimah
sebagaimana yang kabarkan oleh Shafiyyah ketika beliau menziarahi Nabi pada
saat i’tikaf :
“Adalah Nabi (beri’tikaf) di masjid dan di sisinya terdapat
istri-istri beliau (sedang beri’tikaf pula)…”. HR. Bukhari dan Muslim Al Imam
Ibnul Mundzir berkata: “Perempuan tidak boleh beri’tikaf hingga dia meminta
izin kepada suaminya dan jika perempuan itu beri’tikaf tanpa izin maka suaminya
boleh mengeluarkannya (dari i’tikaf). Dan jika seorang suami telah mengizinkan
(istrinya) lalu mau mencabut izinnya maka hal itu dibolehkan baginya”.
(Lihat Fathul Bari 4 : 351)
4. FADHILAH (KEUTAMAAN) I'TIKAF
Adapun fadhilahnya maka i’tikaf mempunyai beberapa keutamaan
yang tidak terdapat pada ibadah lainnya, diantaranya:
·
I’tikaf merupakan wasilah (cara)
yang digunakan oleh Nabi صل اللة عليه وسلم untuk mendapatkan malam Lailatul Qadr
·
Orang yang melakukan i’tikaf akan
dengan mudah mendirikan shalat fardhu secara kontinu dan berjamaah bahkan
dengan i’tikaf seseorang selalu beruntung atau paling tidak berpeluang besar
mendapatkan shaf pertama pada shalat berjama’ah
·
I’tikaf juga membiasakan jiwa
untuk senang berlama-lama tinggal dalam masjid, dan menjadikan hatinya terpaut
pada masjid
·
I’tikaf akan menjaga puasa
seseorang dari perbuatan-perbuatan dosa. Dia juga merupakan sarana untuk
menjaga mata dan telinga dari hal-hal yang diharamkan
·
Dengan I'tikaf membiasakan hidup
sederhana, zuhud dan tidak tamak terhadap dunia yang sering membuat kebanyakan
manusia tenggelam dalam kenikmatannya.
5. WAKTU I’TIKAF
I’tikaf boleh dikerjakan kapan saja, namun lebih ditekankan pada
bulan Ramadhan, karena itulah yang sering dilakukan oleh Rasulullah.Dan lebih
utama dikerjakan pada sepuluh akhir Ramadhan untuk mendapatkan Lailatul Qadr
sebagaimana yang ditunjukkan hadits Abu Sa’id Al Khudri.
I’tikaf yang wajib harus dikerjakan sesuai jumlah hari yang
telah dinazarkan, sedangkan i’tikaf yang sunnah tidak ada batasan maksimalnya
dan hal ini disepakati oleh keempat ulama madzhab, dan jumhur ulama berpendapat
bahwa tidak ada batasan minimal ketika beri’tikaf hal ini berdasarkan atsar
dari Umar dimana beliau mengabarkan kepada Nabi tentang nazar beliau untuk
beri’tikaf satu malam di masjid Haram, lalu Rasulullah memerintahkan
kepadanya untuk menunaikan nazarnya. Imam Nawawi mengatakan : “Boleh seseorang
beri’tikaf sesaat dan dalam waktu yang singkat…”. )Al Minhaj 8 : 307)
Telah ikhtilaf ulama kita tentang kapan awal masuknya seseorang
yang mau beri’tikaf ke dalam masjid. Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang
memulai i’tikaf hendaknya memasuki masjid sebelum matahari terbenam. Pendapat
yang kedua mengatakan, bahwa i’tikaf baru dimulai sesudah shalat shubuh,
berdasarkan hadits ‘Aisyah:
“Adalah Nabi jika hendak beri’tikaf, beliau shalat shubuh
kemudian masuk ke (mu'takaf) tempat i’tikafnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Pendapat ini dipegangi oleh Al Auza’iy, Al Laits dan Ats Tsauri
serta dipilih oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dan Al Imam Ash Shon’ani.Dari dua
pendapat yang ada maka yang paling dekat dengan dalil adalah pendapat yang
kedua, yaitu masuk sesudah shalat shubuh, namun pendapat yang pertama lebih
berhati-hati. Wallahu A’lam.
6. RUKUN-RUKUN I’TIKAF
·
Niat, karena tidak sah suatu
amalan melainkan dengan niat.
·
Tempatnya harus di masjid.
Dalilnya firman Allah yang artinya:
“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf
dalam mesjid” (QS. Al Baqarah : 187)
Keharusan beri’tikaf di masjid ini berlaku pula untuk wanita,
dalam hal ini merupakan pendapat Jumhur Ulama bahwa wanita tidak sah beri’tikaf
di masjid rumahnya karena tempat itu tidaklah dikatakan masjid, lagi pula
keterangan yang shahih menerangkan bahwa istri-istri Nabi melakukan i’tikaf di
masjid Nabawi.
Dan berkata Al Hafizh Ibnu Hajar al-asqolani tentang i’tikafnya
istri-istri nabi di masjid : “Hal ini menunjukkan disyariatkannya i’tikaf di
masjid, karena seandainya tidak, tentu para istri-istri Nabi akan beri’tikaf di
rumah-rumah mereka karena mereka telah diperintahkan untuk berlindung atau
berdiam di rumah”. (Fathul Bari 4 : 352)
7. MASJID YANG SAH DIPAKAI I’TIKAF
Para ulama telah berikhtilaf tentang syarat masjid yang sah
untuk di gunakan i’tikaf namun diantara pendapat-pendapat yang ada maka
pendapat yang pertengahan dan paling dekat dengan kebenaran adalah I'tikaf
harus dilaksanakan di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah padanya karena
shalat berjama’ah bagi laki-laki hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan atsar
‘Aisyah yaitu:
“Tidak ada i’tikaf kecuali di masjid yang dilaksanakan shalat
berjama’ah”. (HR. Ad Daraqutni dan Al Baihaqi)
Pendapat ini dipegangi pengikut madzhab Abu Hanifah dan Imam
Ahmad serta perkataan Hasan Al Bashri dan ‘Urwah bin Zubai. Ibnu Qudamah menjelaskan:“Disyaratkannya
i’tikaf di masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah, karena shalat jama’ah itu
wajib, dan ketika seseorang beri'tikaf di masjid yang tidak dilaksanakan shalat
jama’ah akan mengakibatkan salah satu dari dua hal : meninggalkan shalat
jama’ah yang merupakan kewajiban, yang kedua keluar untuk shalat di masjid yang
dilaksanakan shalat berjama’ah dan hal ini akan sering berulang padahal masih
mungkin untuk menghindarinya, dan sering keluar dari tempat i’tikaf itu
bertentangan dengan maksud/tujuan i’tikaf …”. (Al Mughni 4 : 461)
Jika seseorang i’tikaf di masjid jama’ah yang tidak dilaksanakan
shalat Jum’at maka pada hari Jumat wajib atasnya untuk keluar shalat Jum’at dan
i’tikafnya tidak batal karena dia keluar disebabkan udzur yang dibenarkan
syariat dan hal tersebut hanya sekali dalam sepekan, dan ini merupakan pendapat
Abu Hanifah, Said bin Jubair, Hasan Al Bashri, Ibrahim An Nakhaaiy, Imam Ahmad,
Ibnul Mundzir, Dawud Azh Zhohiri, Ibnu Qudamah, dan lain-lain
8. ADAB-ADAB I’TIKAF
Ada beberapa adab yang hendaknya seseorang yang beri’tikaf
memperhatikannya dan berusaha untuk melaksanakannya. Diantara adab-adab tersebut
adalah :
1. Memperbanyak ibadah-ibadah sunnah yang mendekatkan dirinya
kepada Allah.
2. Membuat bilik-bilik di masjid untuk digunakan berkhalwat sebagaimana
yang dilakukan oleh Nabi, terutama jika ada wanita yang ikut beri’tikaf, maka
wajib atas wanita untuk membuat bilik-bilik tersebut agar terhindar dari
ikhtilat (bercampur) dan saling pandang-memandang dengan lawan jenis.
3. Meninggalkan perdebatan dan pertengkaran walaupun dia berada di
pihak yang benar.
4. Juga hendaknya menghindari dari mengumpat, berghibah, dan
berkata-kata yang kotor, karena hal-hal tersebut terlarang di luar i’tikaf maka
pelarangannya bertambah pada saat i’tikaf.
5. Dan secara umum seluruh perbuatan dan perkataan yang tidak
bermanfaat hendaknya ditinggalkan, karena semua hal itu akan mengurangi pahala
beri’tikaf
9. SYARAT-SYARAT I’TIKAF
وشرط المعتكف إسلام
وعقل ونقاء عن حيض ونفاس وجنابة؛ فلا يصح اعتكاف كافر ومجنون وحائض ونفساء وجنب.
ولو ارتد المعتكف أو سكر بطل اعتكافه.
(ولا يخرج) المعتكف
(من الاعتكاف المنذور إلا لحاجة الإنسان) من بول وغائط وما في معناهما كغسل جنابة
(أو عذر من حيض) أو نفاس، فتخرج المرأة من المسجد لأجلهما (أو) عذر من (مرض لا
يمكن المقام معه) في المسجد، بأن كان يحتاج لفرش وخادم وطبيب أو يخاف تلويث المسجد
كإسهال وإدرار بول. وخرج بقول المصنف لا يمكن إلخ المرضُ الخفيف كحُمَّى خفيفةٍ،
فلا يجوز الخروج من المسجد بسببها.
• مبطلات الاعتكاف
(ويبطل) الاعتكاف (بالوطء) مختارا
ذاكرا للاعتكاف عالما بالتحريم. وأما مباشرة المعتكف بشهوة فتبطل اعتكافه إن أنزل،
وإلا فلالهمش
Adapun syarat-syarat bagi orang yang i’tikaf :
1. Islam
2. Berakal sehat
3. Suci dari daid, nifas, dan jinabah.
Maka tidak sah i’tikaf bagi orang :
1. Orang kafir
2. Orang gila
3. Orang yang sedang dalam keadaan haid, nifas, dan jinabah.
Orang yang beri’tikaf tidak boleh dari i’tikaf yang dinadzarkan,
kecuali bila ada hajat manusiawi seperti kencing, berak, dan yang semakna
seperti itu seperti mandi jinabat. Atau karena udzur, seperti haid atau nifas.
Maka boleh bagi perempuan keluar dari masjid, karena sebab kedua perkara itu,
atau karena ndzur adanya penyakit yang tidak dapat menetap didalam masjid,
sekiranya dia membutuhkan alas, pelayan dan dokter, atau khawatir mengotori
masjid, seperti selalu berak dan kencing.
Perkataan musannif : penyakit “yang tidak memungkinkan” itu
mengecualikan penyakit ringan seperti saskit panas yang sakitnya sementara,
maka tidak boleh keluar dari masjid karena sebab tersebut. Menjadi bathal
i’tikaf seseorang, sebab wathi, hal ini jika memang (orang yang beri’tikaf itu
berfikir) itu berfikir dan ingat bahwa dirinya dalam keadaan sedang i’tikaf
jika mengerti akan haramnya jima’ (wathi). Adapun ketemunya kulit orang yang
i’tikaf disertai timbul syahwat, maka batal i’tikafnya, hal ini jika sampai
keluar air mani, sedang jika tidak sampai keluar air mani, maka tidak
membatalkan.
Orang yang beri’tikaf memiliki beberapa syarat yang harus
dipenuhinya yaitu:
Seorang muslim, mumayyiz (sudah mampu membedakan yang baik dan buruk),berakal, dan suci dari janabat, haidh, serta nifas.
Seorang muslim, mumayyiz (sudah mampu membedakan yang baik dan buruk),berakal, dan suci dari janabat, haidh, serta nifas.
10. HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN SEWAKTU
I’TIKAF
1. Keluar untuk suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan.
Dalilnya hadits Aisyah ia berkata :
“Dan adalah Rasulullah jika sedang beri’tikaf di masjid, kadang
beliau memasukkan kepalanya maka saya menyisirnya dan adalah beliau tidak masuk
ke rumah kecuali karena kebutuhan yang manusiawi”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Malik berkata : “Tidaklah seseorang dikatakan beri’tikaf
hingga dia meninggalkan hal-hal yang harus dia tinggalkan seperti menjenguk
orang sakit, shalat jenazah, dan masuk ke rumah kecuali ada hajat insan Imam Az
Zuhri menafsirkan hajat insan (kebutuhan yang manusiawi) sebagai kencing dan
buang air besar, dan kedua hal ini merupakan ijma’ tentang bolehnya keluar
masjid disebabkan kedua hal tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu
Mundzir
2. Menyisir rambut, mencukurnya, memotong kuku dan membersihkan
badan dari berbagai kotoran”.(Lihat :Ma’alim As Sunan 2 : 578)
3. Membawa kasur dan perlengkapan lainnya ke masjid.
4. Menerima tamu dan mengantarkannya hingga ke pintu masjid.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ketika beliau diziarahi oleh istri
beliau Shofiyyah .
5. Makan dan minum di dalam masjid dengan tetap memelihara dan
menjaga kebersihan dan kemuliaan masjid.
BAB III
KESIMPULAN
Seseorang yang berniat untuk beri’tikaf hendaknya
mempertimbangkan maslahat dan mudharat. Jika dia adalah seorang pemuda yang
sangat dibutuhkan oleh orang tuanya maka hendaknya dia mendahulukan hak orang
tuanya karena hal tersebut wajib, namun jika dia diizinkan untuk beri’tikaf
maka itulah yang utama. Demikian pula dengan orang yang bekerja di bidang jasa
dan kepentingan masyarakat umum hendaknya mendahulukan kepentingan umum dari
kepentingan pribadi dan sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang diniatkan oleh
hamba-hamba-Nya.
Adapun bagi mereka yang Allah muliakan dengan memberikan
kesempatan untuk beri’tikaf di tahun ini hendaknya memanfaatkan waktu dengan
sebaik-baiknya, raihlah hikmah dan faidah i’tikaf, perhatikanlah adab-adabnya
serta jauhkanlah dari hal-hal yang terlarang dan janganlah menjadi orang yang
i’tikafnya tidak ubahnya dari sekedar berpindah tempat tidur saja.
Mudah-mudahan dengan i’tikaf ini anda bisa mendapatkan malam yang lebih mulia
dari seribu bulan : “Lailatul Qadr". (Al Fikrah)
No comments:
Post a Comment