Salah satu pendekatan tafsir
modern adalah melalui pendekatan sosial. Corak ini muncul sebagai salah satu
corak tafsir modern sebagaimana dikatagorikan Dr. Muhammad Hussein adz-Dzahabi. Di antara tokoh-tokohnya –tutur
adz-Dzahabi- Syeikh Muhammad Abduh dan muridnya Sayyed Rasyid Ridha serta Syeikh Musthafa al-Maraghi.
Corak sosial yang dimaksudkan adz-Dzahabi di sini adalah sebagai sebuah
pendekatan dalam kerangka menyuguhkan solusi bagi beberapa problematika sosial,
dan bukan sekedar interpretasi kering yang berpijak pada linguistik dan
pemaknaan atas kata-kata serta satuan-satuan bahasa saja.
Belakangan, seiring dengan
perkembangan filsafat modern pendekatan sosial dalam kajian keislaman pun
mengalami berbagai pergeseran pemahaman. Memang benar obyek dan sasarannya tak
mengalami pergeseran, namun ada perluasan titik studi. Menjadi bukan sekedar
mempelajari manusia dan budayanya, akan tetapi meluas pada pengaruh budaya dan
lingkungan terhadap perilaku keberagamaan seseorang atau sebuah komunitas sosial. Simpelnya
akan ada blok-blok eksklusif dalam praktek keberagamaan bila kurang tepat dalam
melakukan pendekatan sosial. Terlebih bila penekanan pendekatan metode ini
dititikberatkan pada budaya dan kelekatan perilaku keberagamaan sebuah
komunitas tertentu. Bisa jadi akan mengebiri universalitas al-Qur’an. Karena
tidak mustahil akan ada penafsiran regional atas al-Qur’an sesuai komunitas
sosialnya. Ada tafsir sosial Arab, Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Timur,
Afrika, Eropa dan lain sebagainya.
Padahal antropologi sebagai
sebuah ilmu kemanusiaan sangat berguna untuk memberikan ruang tafsir yang lebih
elegan dan luas. Sehingga nila-nilai dan pesan al-Qur’an bisa disampaikan pada
masyarakat yang heterogen. Oleh pengusung sekaligus penganut hermeneutika, semisal Nasr Abu
Zeid dengan”produk
budaya”nya sebenarnya tidaklah
membidik langsung al-Qur’an. Karena beliau tidak sedang berlogika al-Qur’an
adalah [hasil] karya [budaya] manusia, meskipun bisa jadi hendak menggugat
sakralitasnya. Namun, sasaran tembak beliau adalah buku-buku tafsir otoritatif
yang ditulis oleh para mufassir
salaf. Karena mereka –para mufassir salaf- menurutnya tidak
menguasai antropologi dan sosiologi modern. Dikarenakan mereka hidup di masa
yang berbeda dengan kita. Maka, sebagian penafsiran mereka menjadi tidak
relevan dengan kondisi sosial modern. Dan memang perbedaan itu selalu terjadi
bahkan di antara para mufassir yang
sezaman. Namun, naif bila mengecilkan peran mereka sama sekali. Bangunan
metodologi para mufassir dan fuqahâ dengan berbagai klasifikasinya menjadi buyar –hanya- karena mereka
ketinggalan ”pelajaran” yang bernama sosiologi modern dan antropologi. Muhammad al-Ghazali mengakui
bahwa al-Qur’an bukan semata menjadi monopoli tempat istinbâth para fuqahâ. Karena al-Qur’an memberi ruang yang luas juga bagi para mufassirin, pakar bahasa dan mutakallimin untuk ikut menikmati al-Qur’an sebagai jalan memopulerkan
kemukjizatannya.[1]
1.
Urgensi pendekatan antropologi dalam
studi tafsir
Di dalam al-Qur’an banyak kita jumpai urgensi
peran sebuah tokoh. Sebagai contoh kataal-muttaqûn,al-muttaqîn sebagai sarana menjelaskan
hakikat ketakwaan. Ini menunjukkan betapa
pentingnya manusia sebagai pelaku peradaban. Maka mempelajari segala sesuatu
yang bersangkutan dengan manusia, terlebih dalam konteks memahami kitab Allah
menjadi sebuah kebutuhan yang tidak terelakkan, hal ini bisa dikatakan sebagai
pintu ilmu-ilmu modern sebagai perangkat mengikuti perkembangan zaman
Contoh lain, adalah klasifikasi surat-surat al-Qur’an menjadi makky dan madany. Yang tentunya sangat
memperhatikan peristiwa dan lingkungan serta setting turunnya al-Qur’an. Dr. Jum’ah Ali Abd. Qader menyebutkan beberapa
faedah klasifikasi masalah ini:
1.
Untuk
mengetahui nasakh-mansukh dalam hal beberapa ayat yang berbicara dalam satu tema tertentu.
Apalagi jika terjadi perbedaan hukum antara keduanya.
2.
Untuk
mengetahui tarikh tasyri’ (sejarah dan proses suatu hukum)
3.
Untuk
semakin menguatkan argument otentisitas al-Qur’an, karena diketahui mana yang
turun di Makkah dan mana yang turun di Madinah; manayang turun siang hari dan
mana yang turun di malam hari [2]
Antropologi,
sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk
memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku
mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan
pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang
manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk
mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish
Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk
memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ’khalifah’ (wakil Tuhan) di
bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
2.
Kerangka teoritis pendekatan
antropologi
Menurut jamhari ma’ruf secara garis
besar kajian agama daam antropologi dapat
dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist.
Tradisi
kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang
intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap
masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya
E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan
terhadap adanya kekuatan supranatural. Namun , dampak dari pendekatan seperti
ini bisa mengarah pada penyamaan sikap keberagamaan.
Ketiga
pendekatan setelahnya; teori strukturalis, fungsionalis dan simbolis
dipopulerkan Emile Durkheim, dalam magnum
opusnya The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama dari sisi yang
sangat sederhana sekaligus menggabungkannya secara struktur.
Durkheim mengritik terori intelektual di atas dengan tesis
masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh
hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim
adalah ”struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus
moral.” Pandangan ini yang mengilhami para antropolog untuk menggunakan
pendekatan struktural dalam memahami agama dalam masyarakat. Claude
Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan
strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan
masyarakat. Demikian halnya mengenai fungsi agama bagi masyarakat. Keduanya
sangat berhubungan erat.
Adapun
teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga
mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim
membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual
dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan
masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan ritual sebagai
simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut adalah Victor Turner ketika
ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat Ndembu di Afrika.
Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat Ndembu
untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah
tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama.[3]
Dalam pandangan ilmu sosial,
pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi
teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam
kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam kerangka sosial
empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan
kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga
menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian social.
3.
Relevansi antropologi dalam
penafsiran al-qur’an
Syeikh Muhammad Abduh
berpendapat yang dibutuhkan oleh umat ini adalah pemahaman kitab suci sebagai
sebuah hidayah yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Sehingga al-Quran
pasti dapat menyuguhkan berbagai solusi beragam atas berbagai polemik sosial
dan problem yang sangat kompleks. Atas ajakan ini, corak sosial yang kental
dalam penafsiran beliau menjadi pijakan dasar pengembangan sosiologi modern.
Terutama dalam menyikapi permasalahan yang menyentuh masyarakat sosial.
Relevansi
pedekatan antropologi dicontohkan al-Qur’an sendiri dalam kasus pelarangan
meminum khamr yang turun dalam tiga tahapan: pertama, tahapan balance informasi . Kedua, tahapan peringatan . Ketiga, tahapan final pengharamannya. [4]Struktur perintah termasuk redaksi dan pola penyampaiannya sangat
memperhatikan kondisi sosial masyarakat saat itu.
Demikian
halnya dalam konteks penyampaian isi al-Qur’an dan penafsirannya pada skup yang
sangat mikro dan lokal yang diperhatikan adalah konteks metode penafsirannya
dan bukan pada pengubahan substansinya. Bila tidak problem budaya akan semakin
menjadi tema polemik yang menarik antar komunitas yang berbeda. Seperti
pengertian dan batasan tentang jilbab. Benarkah batasan wajibnya hanya pada aurat kubrâ? Selebihnya diserahkan pada nilai kebiasaan dan adat masyarakat
setempat. Benarkah hijab atau jilbab hanya menjadi sebuah simbol keberagamaan. Atau ada maqashid
syariah di sana? Jika sebagai symbol apakah mewakili symbol keberagamaan
universal atau mewakili kultur tertentu saja. Atau sebaliknya dengan dalih maqashid, simbol seperti ini bisa digantikan dan tidak dipakai?
4.
Penyalahgunaan pendekatan
antropologi dalam kajian al-qur’an
Pada prakteknya sosiologi
maupun antropologi modern tak jarang dijadikan senjata untuk mereduksi otoritas
al-Qur’an sebagai sumber hukum tertinggi dalam Islam. Karena metode yang ditonjolkan
adalah fungsi akal dan nalar di atas segala-galanya.
Oleh
kelompok liberal, antropologi dijadikan ilmu alat untuk mereduksi kemapanan
sebagian tafsir al-Qur’an. Lihat saja bagaimana tafsir emansipatoris yang
berkembang –justru- dibidikkan untuk menggugat ayat-ayat yang diopinikan
misogini dan memberi peran sub-ordinat bagi perempuan. Penyuaraan penyetaraan
gender yang berlebihan dengan dalih porsi ini masih minim dalam penafsiran
al-Qur’an para ahli tafsir salaf. Pada tataran ekstrim ada yang menyuarakan
amandemen ayat-ayat di atas. Na’udzubillah
min dzalik. Dr. Muhammad Belatagy menambahkan bahwa pemikiran seperti ini
lebih masuk karena disuarakan oleh orang-orang Islam yang
terkontaminasi oleh pergolakan budaya internal dan serangan budaya eksternal
yang hedonis. Mengingat bahwa tema-tema perempuan menjadi salah satu sasaran
empuk desakralisasi teks-teks al-Qur’an. Sebagai contohnya, dengan pendekatan
sosial menyuarakan penafian poligami oleh al-Qur`an sendiri, dengan dalil penasakhan hukum aslinya. Ayat yang digunakan adalah surat an-Nisa, ayat
129[5].
Tentunya pembacaan seperti ini tidak dibenarkan. Final destinasinya adalah
penyetaraan gender dan penguapan supremasi laki-laki atas perempuan dalam
praktek-praktek keberagaman.
A.
Penutup
Al-Qur’an sebagai ruh –seperti
ungkap Muhammad Quthb- akan memengaruhi cara pandang dan pola hidup seseorang.
Terlebih bila ia sangat dalam merasakannya. Siapa yang hidup dengan al-Qur’an
berarti ia hidup bersama Allah. Tak kenal takut dan minder. Meski berhadapan dengan
kebudayaan yang bagaimana pun atau di depan kedigdayaan seperti apapun. Apalagi
dengan keyakinan bahwa kitab Allah ini dijaga-Nya sebagaimana Ia berjanji. Dan
jug akarena Islam adalah sebuah agama, bukan sebuah gerakan pemikiran atau
fenomena sosial yang bersifat sementara.
Karena itu semoga kajian kita
tentang antropologi ini tidak –malah- menjauhkan kita dengan al-Qur’an. Karena
tujuan pengajian al-Qur’an dan perintah untuk menadabburinya adalah untuk
melunakkan hati dan selanjutnya mudah menerima kebenaran dan hidayah al-Qur’an
dan bukan dengan mengangkuhkan diri dengan mendewa-dewakan superioritas akal
yang terbatas.
Semoga
yang sedikit ini bermanfaat dan bisa membantu kita –penulis khususnya- untuk
lebih rajin rajin membaca dan mengkaji sehingga tidak terjebak pada
stigmatisasi golongan. Karena sampai orang-orang yang menempatkan diri sebagai
kaum netral dan obyektif secara tak sadar telah
No comments:
Post a Comment