HUBUNGAN ANTARA HUKUM PERDATA DENGAN HUKUM
PIDANA DALAM KONTEKS GANTI RUGI
Beberapa contoh kasus Perdata jadi Pidana
1. Pinjaman modal usaha
digunakan untuk membeli mobil
Praktik penyalahgunaan
uang yang dipinjam namun tidak sesuai dengan peruntukannya, dapat juga dituntut
dengan tindak pidana penggelapan.Misalnya, jika kesepakatan awal pinjaman uang
untuk modal usaha, namun ternyata digunakan untuk membeli mobil pribadi, maka
si penerima uang yang membeli mobil tersebut dapat dituntut atas dasar dugaan
tindak pidana penggelapan (Pasal 372 KUHP).
2. Pengurusan Izin Tidak
Dilakukan, Uang tidak dikembalikan
Dalam beberapa kasus,
suatu kewajiban dalam perjanjian yang tidak berhasil dipenuhi, namun uang
pembayaran tidak dikembalikan juga dapat menjadi perkara dugaan tindak pidana
penipuan dan/atau penggelapan. Sebagai contoh, apabila ada pihak yang berjanji
akan mengurus suatu izin usaha, namun hingga waktu yang telah ditetapkan
ternyata izin usaha yang dijanjikan tidak kunjung terbit, dan ternyata uang
pembayaran izin tersebut tidak dikembalikan, hal tersebut juga dapat diajukan
tuntutan dugaan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan.
3. Memberikan Cek kosong,
yang sejak awal diketahui tidak ada dananya.
Misalnya Allen memberikan pinjaman dana kepada
Brodi, kemudian Brodi akan melakukan pengembalian dana berikut bunganya dengan
menerbitkan cek dengan tanggal yang telah disepakati (tanggal mundur) antara
Allen dan Brodi.
Apabila Brodi menerbitkan cek yang disadari olehnya bahwa cek tersebut
tidak akan pernah ada dananya, padahal dia telah menjanjikan kepada Allen bahwa
cek tersebut ada dananya, maka perbuatan Brodi dapat dikategorikan sebagai
perbuatan penipuan dengan cara tipu muslihat. Hal tersebut
tidak akan sampai ke ranah pidana, apabila Brodi tahu cek tersebut memang ada
dananya pada saat diterbitkan. Namun pada saat tanggal jatuh tempo dananya
tidak ada, maka perbuatan Brodi dapat dikategorikan sebagai wanprestasi.
Dari uraian
kasus-kasus di atas, peristiwa perdata yang kemudian dipidanakan, selalu
berawal dari niat jahat dan itikad tidak baik dari si pelaku. Hal ini tentu
akan berbeda dengan suatu pihak yang menjadi berhutang karena adanya kegagalan
dalam bisnisnya, yang membuatnya tidak mampu mengembalikan hutang. Namun
demikian, apabila si pihak berhutang beritikad baik untuk membayar hutangnya
tersebut, maka sangat disarankan untuk membuat kesepakatan penyelesaian
pembayaran hutang dan jangan malah menghindari atau melarikan diri.Karena
itikad tidak baik tersebut, sangat berpotensi menjadi persoalan pidana.
Untuk
penggabungan perkara ganti kerugian sendiri diatur dalam Bab XIII UU
No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang
mengatur dari Pasal 98 hingga Pasal 101. Pasal 98 ayat (1) KUHAP menentukan
bahwa, “Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi
orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan
untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.”
Untuk itu permohonan penggabungan perkara ganti kerugian berdasarkan ketentuan Pasal
98 ayat (2) UU KUHAP diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum
mengajukan tuntutan pidana.Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan
diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim
menjatuhkan putusan.
Pada saat korban tindak pidana meminta penggabungan perkara ganti kerugian
maka Pengadilan wajib menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan
tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya
yang telah dikeluarkan oleh korban (lihat Pasal 99 ayat [1] KUHAP). Putusan
mengenai ganti kerugian dengan sendirinya akan mendapatkan kekuatan hukum tetap
apabila putusan pidananya juga telah mendapat kekuatan hukum tetap (lihat Pasal
99 ayat [3] KUHAP). Begitu juga apabila Putusan terhadap perkara pidana
diajukan Banding maka Putusan Ganti rugi otomatis akan mengalami hal yang sama
(lihat Pasal 100 ayat [1] KUHAP). Namun, apabila perkara pidana tidak diajukan
banding maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan
banding (lihat Pasal 100 ayat [2] KUHAP). Mekanisme pemeriksaan penggabungan perkara
ganti kerugian ini berdasarkan ketentuan Pasal 101 KUHAP menggunakan mekanisme
yang diatur dalam Hukum Acara Perdata.
Mekanisme
lain yang tersedia adalah menggunakan Gugatan Perdata biasa dengan model
gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam gugatan ini, Penggugat, dalam hal ini
korban tindak pidana, tentu harus menunggu adanya putusan Pengadilan yang telah
memutus perkara pidana yang dilakukan oleh Pelaku (Tergugat).
Sementara
tersedia juga mekanisme lain yaitu mengajukan permohonan Restitusi yang
diajukan berdasarkan ketentuan UU
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU
13/2006”), PP
No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada
Saksi dan Korban (“PP 44/2008”), dan Peraturan LPSK No. 1 Tahun
2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi.
Permohonan Restitusi diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b jo Pasal 7 ayat
(2) UU 13/2006 yang kemudian secara lebih detail diatur dalam PP 44/2008. Berdasarkan
PP 44/2008, permohonan Restitusi ini dapat diajukan sebelum atau setelah pelaku
dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
(videPasal 21 PP 44/2008)
Permohonan
Restitusi tersebut diajukan secara tertulis yang bermaterei cukup dalam bahasa
Indonesia oleh Korban, Keluarganya atau Kuasanya kepada Pengadilan melalui LPSK
Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 PP 44/2008 memuat sekurang-kurangnya:
a. identitas
pemohon;
b. uraian tentang
tindak pidana;
c. identitas
pelaku tindak pidana;
d. uraian kerugian
yang nyata-nyata diderita; dan
e. bentuk
Restitusi yang diminta.
Permohonan Restitusi harus dilampiri:
a.
fotokopi identitas Korban yang disahkan oleh
pejabat yang berwenang;
b.
bukti kerugian yang nyata-nyata diderita oleh
Korban atau Keluarga yang dibuat atau
disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c.
bukti biaya yang dikeluarkan selama perawatan
dan/atau pengobatan yang disahkan
oleh instansi
atau pihak yang melakukan perawatan atau pengobatan;
d.
fotokopi surat kematian dalam hal Korban
meninggal dunia;
e.
surat keterangan dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang menunjukkan
pemohon sebagai
Korban tindak pidana;
f.
surat keterangan hubungan Keluarga, apabila
permohonan diajukan oleh Keluarga;
g.
surat kuasa khusus, apabila permohonan
Restitusi diajukan oleh Kuasa Korban atau
Kuasa Keluarga.
Jika
permohonan Restitusi di mana perkaranya telah diputus pengadilan dan
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka permohonan Restitusi harus dilampiri
kutipan putusan pengadilan tersebut.
Apabila
permohonan tersebut oleh LPSK telah dinyatakan lengkap maka akan ada
pemeriksaan substantif dan hasil pemeriksaan tersebut ditetapkan dengan
Keputusan LPSK beserta pertimbangannya yang disertai rekomendasi untuk
mengabulkan permohonan atau menolak permohonan Restitusi.
Apabila
permohonan Restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dan pelaku tindak pidana dinyatakan bersalah,
LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya
kepada pengadilan yang berwenang
Setelah LPSK
mengajukan permohonan Restitusi, maka Pengadilan memeriksa dan menetapkan
permohonan Restitusi dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal permohonan diterima;
Pengadilan setelah memeriksa mengeluarkan penetapan yang disampaikan ke
LPSK dan LPSK wajib menyampaikan salinan penetapan pengadilan kepada Korban,
Keluarga, atau Kuasanya dan kepada Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima
penetapan.
Apabila permohonan Restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, LPSK
menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada
penuntut umum.Penuntut umum kemudian dalam tuntutannya mencantumkan permohonan
Restitusi beserta Keputusan LPSK dan pertimbangannya. Putusan Pengadilan yang
dijatuhkan disampaikan kepada LPSK dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh)
hari terhitung sejak tanggal putusan;
LPSK menyampaikan salinan putusan pengadilan kepada Korban, Keluarga, atau
Kuasanya dan kepada Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam jangka
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima putusan.
Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga wajib melaksanakan penetapan atau
putusan pengadilan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tanggal salinan penetapan pengadilan diterima;
Pelaku tindak
pidana dan/atau pihak ketiga melaporkan pelaksanaan Restitusi kepada pengadilan
dan LPSK dan LPSK membuat berita acara pelaksanaan penetapan pengadilan
Setelah proses
tersebut di lakukan maka Pengadilan wajib mengumumkan pelaksanaan Restitusi
pada papan pengumuman pengadilan.
No comments:
Post a Comment