PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN MANUSIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Latar belakang dari penulisan makalah ini karena perlu
adanya pengetahuan akan kriteria atau ciri-ciri seseorang yang sudah matang di
dalam beragama. Agar tidak salah paham jika nantinya terdapat sesuatu yang
mungkin disangka menyimpang dari ajaran agama, padahal itu merupakan sesuatu
yang benar adanya yang siapa saja mungkin melakukannya.
B. Rumusan
Masalah
1. Perkembangan
Kepribadian Manusia
2. Ciri-ciri
dan Sikap Keberagamaan
C. Metode
Penulisan
Research library, dan dengan mengutip dari buku-buku,
kemudian penyusun simpulkan dalam bentuk makalah.
D. Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui perkembangan kepribadian manusia
2. Untuk
mengetahui ciri-ciri dan sikap keberagamaan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Kepribadian Manusia
Manusia mengalami dua macam perkembangan, yaitu
perkembangan jasmani dan perkembangan rohani. Perkembangan jasmani ditandai
dengan pencapaian kedewasaan, sedangkan perkembangan rohani ditandai dengan
pencapaian tingkat abilitas/kemampuan yang disebut dengan kematangan.
Kematangan merupakan suatu fenomena penting dalam tingkah laku[1].
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan
menurut tiga golongan[2],
yaitu:
1. Menurut
golongan Nativisme, perkembangan individu itu semata-mata ditentukan oleh
faktor-faktor yang dibawa sejak lahir. Mereka mengemukakan bahwa setiap manusia
yang dilahirkan itu dibekali bakat masing-masing baik yang berasal dari orang
tua, nenek moyang atau jenisnya. Apabila pembawaan itu baik, maka akan baik
pula anak itu kelak. Demikian juga sebaliknya.
2. Menurut
golongan Empirisme, manusia itu lahir dalam keadaan netral, tidak memiliki
pembawaan apapun. Semua bayi yang lahir itu selalu dalam keadaan kosong dan
perbedaan tingkah laku yang tampak kemudian disebabkan oleh pengaruh lingkungan
dalam proses kehidupannya. Mereka tetap mengakui bahwa faktor bawaan sejak
lahir setiap orang itu ada, tetapi pembawaan ini akan dapat ditutupi oleh
pengaruh lingkungan atau pendidikan dengan rapat sehingga hal-hal bawaan tadi
tidak nampak.
3. Menurut
golongan Konvergensi, bahwa baik bakat/keturunan maupun lingkungan itu
memainkan peranan penting dalam pembentukan dan perkembangan anak. Bakat saja
tanpa adanya pengaruh lingkungan yang cocok dalam perkembangan anak belumlah
cukup, demikian pula lingkungan yang baik tetapi tidak sesuai dengan bakat yang
dimiliki anak juga tidak akan mendatangkan hasil yang baik.
Anak yang normal biasanya pada usia tujuh tahun sudah
siap untuk disekolahkan, karena pada usia tersebut anak itu memiliki tingkat
perkembangan yang seimbang antara jasmani dan rohaninya.
Namun, ada juga anak-anak yang berbeda tingkat
perkembangan antara perkembangan jasmani dan perkembangan rohaninya. Terkadang
secara jasmani (usianya), anak itu sudah mencapai perkembangan, tetapi secara
rohaninya masih belum mencapai perkembangan yang seimbang dengan usianya.
Anak-anak itu bisa disebut sedang mengalami keterlambatan perkembangan rohani.
Dan sebaliknya, ada juga anak yang perkembangan rohaninya itu lebih dahulu
mencapai perkembangan daripada perkembangan rohaninya.
Tanda-tanda kematangan pribadi itu banyak terdapat
beberapa pendapat dengan versi yang berbeda pula[3]:
1. Marie Jahoda berpendapat bahwa
tanda-tanda kematangan itu adalah:
a. Pribadi yang
matang adalah individu yang dapat menguasai lingkungannya secara aktif.
b. Dia
memperlihatkan satu totalitas dari segenap kepribadiannya.
c. Dia sanggup
menerima secara tepat dunia lingkungannya dan dirinya sendiri.
d. Ia mampu
berdiri di atas kedua belah kakinya tanpa banyak menuntut kepada orang lain.
2. Erik
Homburger Erikson berpendapat:
a. Pribadi yang
sehat dan matang ialah seorang yang memiliki organisasi usaha yang efektif
untuk mencapai tujuan hidupnya.
b. Ia dapat
menerima realitas dunia secara tepat.
c. Dia memiliki
integritas karakter dalam pengertian yang etis, serius, bertanggung jawab,
toleran, mampu berdiri sendiri.
d. Dia memiliki
hubungan interpersonal dan intrapersonal yang baik, karena dia tidak egoistis,
kurang atau tidak mencurigai orang lain dan mampu mempertahankan diri sendiri.
3. Abraham
Maslow banyak mengajukan beberapa pendapat, namun hanya tiga pendapat yang
dikutip, yaitu:
a. Pada
kematangan pribadi itu ada selfactualization (aktualisasi diri), memiliki
kemampuan efisiensi dalam menerima relitas. Orientasinya realistis, mempunyai
relasi yang baik dengan lingkungannya dan tidak takut pada hal-hal yang belum
dialami.
b. Dia mampu
menerima diri sendiri, orang lain dan alam dunia ini tanpa rasa kebencian atau
rasa malu.
c. Dia tidak
egoistis, akan tetapi lebih suka memusatkan perhatian dan usahanya untuk
memecahkan berbagai problem dengan cara yang efektif, lebih tabah dan ulet
terhadap tugasnya.
Pada tingkat perkembangan anak-anak, kedewasaan
jasmani belum tentu setara dengan kematangan rohani. Mungkin saja seseorang itu
sudah mengalami kedewasaan jasmani dan kematangan rohani, namun adakalanya
kedua perkembangan tersebut tidak berjalan sejajar. Secara fisik, seseorang itu
bisa dikatakan sudah dewasa, tetapi belum tentu ia sudah matang secara
rohaninya.
Keterlambatan pencapaian perkembangan rohani merupakan
keterlambatan dalam perkembangan kepribadian. Menurut Dr. Singgih D. Gunarsa,
ada dua faktor yang mempengaruhi keterlambatan[4]
tersebut, yaitu:
1. Faktor yang
terdapat pada diri anak:
a. Konstitusi
tubuh
b. Struktur dan
keadaan fisik
c. Koordinasi
motorik
d. Kemampuan
mental dan bakat khusus
e. Emosionalitas
2. Faktor yang
berasal dari lingkungan:
a. Keluarga
b. Sekolah
d. Pengalaman
Selain itu, ada juga faktor lain yang mempengaruhi perkembangan kepribadian
seseorang, yaitu kebudayaan dari lingkungan sekitar. Kebudayaan ikut berperan
serta dalam pembentukan pola tingkah laku anak. Kebudayaan yang menekankan pada
norma yang didasarkan kepada nilai-nilai kebaikan seperti kejujuran, loyalitas
dan lain sebagainya akan berpengaruh dalam pembentukan sikap dan tingkah laku
anak. Demikian juga dengan kematangan beragama.
Keluargalah yang paling berperan di dalam pembentukan kepribadian anak. Mulai
dari dalam kandungan hingga anak menjadi dewasa. Pembentukan kepribadian itu
harus dilakukan secara terus menerus dan diadakan pemeliharaan sehingga menjadi
matang dan tidak mungkin berubah lagi. Misalnya, anak sewaktu masih kecil
tergolong rajin belajar dan membantu orang tua di rumah, tetapi setelah remaja
berubah menjadi pemalas. Hal ini mungkin karena kurangnya pemeliharaan,
pengawasan, tidak pernah diberi imbalan atau dengan kata lain motivasi belajar
anak dibiarkan rusak. Seharusnya, semua sifat atau kebiasaan yang baik harus
dipelihara dan dipupuk terus sampai dewasa agar tidak berubah lagi[6].
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak
pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan
bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama. Jadi kematangan
beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta
mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan
sehari-hari.
B.
Ciri-ciri
dan Sikap Keberagamaan
Secara garis besar, sikap dan perilaku keagamaan itu menurut William James
dalam bukunya The Varieties of Religious Experience, dapat dikelompokkan
menjadi dua tipe, yaitu:
1. Tipe orang
yang sakit jiwa (The Sick Soul)
Menurut William James, sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui
pada orang yang pernah mengalami latar kehidupan keagamaan yang terganggu.
Artinya seseorang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama
tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang sejak kecil hingga
dewasa. Namun dikarenakan oleh adanya penderitaan batin yang mungkin disebabkan
oleh musibah, konflik batin atau oleh sebab-sebab lainnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tipe orang sakit jiwa ini antara lain:
a. Faktor
intern:
1) Temperamen
Tingkah laku
yang didasarkan kondisi temperamen memegang peranan penting dalam sikap
keberagamaan seseorang. Seseorang yang berbeda temperamennya akan berbeda pula
sikap dan pandangannya terhadap agama.
2) Gangguan
jiwa
Orang yang
mengalami gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.
Tindak tanduk keagamaan dan pengalaman keagamaan yang ditunjukkannya tergantung
dari gejala gangguan jiwa yang mereka alami.
3) Konflik dan
keraguan
Keyakinan
agama yang dianut berdasarkan pemilihan yang matang sesudah terjadinya konflik
kejiwaan akan lebih dihargai dan dimuliakan. Konflik dan keraguan ini dapat
mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama seperti taat, fanatik, dan lain
sebagainya.
4) Jauh dari
Tuhan
Orang yang
dalam kehidupannya jauh dari ajaran agama biasanya akan merasa dirinya lemah
dan kehilangan pegangan hidup di saat menghadapi cobaan. Perasaan inilah yang
mendorong seseorang itu untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan serta
berupaya mengabdikan diri dengan bersungguh-sungguh.
b. Faktor
ekstern:
1) Musibah
Musibah yang
serius dapat mengguncangkan jiwa seseorang. Keguncangan jiwa ini dapat
menimbulkan kesadaran seseorang dengan berbagai macam pemahaman. Bagi seseorang
yang semasa sehatnya kurang memiliki pengalaman dan kesadaran agama yang cukup
umumnya menafsirkan musibah itu adalah sebagai peringatan dari Tuhan. Dengan
adanya pemahaman tentang musibah yang menjadi peringatan tersebut, membuat
seseorang itu kembali kepada agamanya. Semakin tinggi musibah yang ia alami,
maka semakin meningkat pula ketaatannya kepada agama.
2) Kejahatan
Seseorang
yang dalam hidupnya selalu berada di dalam dunia kejahatan, baik itu ia sebagai
otak pelaku maupun hanya sebagai pendukung kejahatan tersebut, umumnya akan
mengalami keguncangan batin, dan ada timbul perasaan berdosa. Perasaan seperti
itu biasanya terus menghantui seseorang itu hingga menyebabkan hidupnya tidak
pernah mengalami ketenangan dan ketenteraman. Perasaan-perasaan tersebut
biasanya mendorong seseorang untuk mencari penyaluran yang menurut penilaiannya
dapat memberi ketenteraman batin. Biasanya mereka ini akan kembali kepada
agama. Kesadaran ini sering mendorong seseorang untuk bertobat. Sebagai penebus
terhadap dosa-dosa yang telah diperbuatnya, tak jarang seseorang itu menjadi
penganut agama yang taat dan fanatik.
2. Tipe orang
yang sehat jiwa (Healthy Minded-Ness)
Ciri dan
sifat agama pada orang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W.
Houston Clark dalam bukunya Religion Psychology[7]:
a. Optimis dan
gembira
Orang yang
sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis.
Menurutnya pahala yang didapat itu merupakan hasil jerih payah yang diberikan
Tuhan. Dan musibah yang dialami merupakan sebuah kesalahan atau kekhilafan yang
ia lakukan, bukan merupakan peringatan dari Tuhan.
b. Ekstrovet
dan tidak mendalam
Sikap
optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jiwa ini menyebabkan
seseorang itu mudah melupakan kesan-kesan buruk dan sesuatu yang mengganjal di
hatinya. Seseorang itu lebih senang melaksanakan ajaran agamanya.
c. Menyenangi
ajaran ketauhidan yang liberal
Sebagai
pengaruh kepribadian yang ekstrovet, maka seseorang itu biasanya menyenangi
teologi yang luwes dan tidak kaku, menunjukkan tingkah laku keagamaan yang
lebih bebas, menekankan ajaran cinta kasih, dan lain-lain.
Walaupun keberagamaan orang dewasa ditandai dengan pendirian yang teguh, namun
dalam kenyataan di kehidupan sehari-hari masih banyak ditemui orang dewasa yang
berubah keyakinan dan kepercayaan. Perubahan itu bisa saja mengarah pada acuh tak
acuh pada ajaran agama atau beralih kepada ajaran agama yang lain. Agama juga
sebagai pendorong perkembangan yang utama[8].
Pada diri manusia itu senantiasa terjadi perubahan diri. Yaitu ada perjuangan
melawan diri sendiri dan melawan egosentrisme. Perubahan diri itu juga
menagndung tendens untuk melepaskan diri dari pola-pola lama yang dianggap
tidak sesuai lagi, dan mengarahkan usaha penyesuaian diri terhadap lingkungan
baru dan orang lain dengan lebih sempurana. Sehingga dengan demikian pada
perubahan diri ini ada kecenderungan yang sifatnya altruistis, sebagai lawan
daripada egoisme[9].
Perubahan diri ini juga selalu mengandung unsur perkembangan diri. Perubahan
diri dan pengembangan diri itu menjadi unsur-unsur utama bagi eksistensi hidup.
Pada proses ini memang ada usaha pengarahan pada diri sendiri. Hanya saja
pengarahan ini jangan terlalu mementingkan diri sendiri (Icth-Suchtig).
Icth-Suchtig ini adalah pengarahan pada diri sendiri yang terlalu ekstrim,
dengan tidak cukup memperhatikan kepentingan-kepentingan orang lain. Maka untuk
memenuhi kepentingan sendiri, orang sering mengorbankan kepentingan orrang
lain.
Maka agama itu mempunyai tendens untuk mengeluarkan manusia dari Icth-Suchtig
atau rasa egoisme tadi. Lagi pula, agama itu membukakan hati manusia kepada
pengertian-pengertian yang absolut dan altruistis (cinta pada sesame manusia).
Agama itu juga mempunyai nilai-nilai yang absolut dan nilai-nilai kemanusiaan
yang luhur. Oleh karena itu setiap pengarahan diri pada nilai-nilai keagamaan
pasti amat besar artinya bagi perubahan dan pembentukan karakter.
Dalam usaha untuk mengembangkan dirinya, manusia itu menyadari
kekurangan-kekurangan dan keterbatasan kemampuannya. Ia belajar mengenali
dirinya sendiri sebagai makhluk yang serba kurang, banyak melakukan kesalahn
serta dosa. Karena kesadaran dan ketulusannya itulah maka timbul rasa
penyerahan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Cinta kasih dan pasrah diri pada
Ilahi itu merupakan usaha pokok dari setiap manusia menuju pada kesempurnaan.
Nilai-nilai spiritual dan renungan-renungan tentang Hakekat Abadi atau Ilahi
itu memberikan kekuatan dan stabilisasi pada manusia; memberikan energi dan
daya tahan tubuh.
Di samping itu, manusia juga memiliki batin yang banyak fungsinya. Batin atau
hati nurani manusia di dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya adalah berfungsi
sebagai hakim yang adil, apabila di dalam kehidupan manusia itu mengalami
konflik, pertentangan atau keragu-raguan di dalam akan bertindak tentang
sesuatu. Batin bertindak sebagai suatu pengontrol yang kritis, sehingga manusia
sebenarnya sering diperingatkan untuk selalu bertindak menurut batas-batas
tertentu yang tidak boleh dilanggarnya[10].
Batin inilah yang mendorong manusia untuk segera meminta maaf apabila bertindak
tidak benar, sambil menjanjikan pada dirinya sendiri untuk tidak akan berbuat
semacam itu lagi kepada siapapun, sekalipun hanya disaksikan oleh dia sendiri,
dan akan menyebabkan timbulnya keberanian. Terlalu sering melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan suara hati, di dalam kehidupan yang sadar, hanya akan
menyebabkan pecahnya pribadi seseorang sehingga di dalamnya akan selalu
dirasakannya konflik-konflik jiwa yang tiada berkesudahan. Untuk dapat menghilangkannya
hanya dengan menguatkan fungsi batin itu sebagai alat pengontrol yang harus
dipatuhi.
Di samping sebagai alat pengontrol, batin berfungsi pula sebagai alat
pembimbing untuk membawa pribadi dari keadaan yang biasa ke arah pribadi yang
akan mudah sekali dikenal oleh masyarakat. Misalnya pribadi yang
bertanggungjawab, berdisiplin, konsekuen, adil, dan sebagainya. Dikenalnya
seseorang memiliki pribadi yang semacam itu akan berarti tumbuhnya wibawa orang
itu sendiri. Wibawa inilah yang diperlukan di dalam setiap kehidupan.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Manusia mengalami dua macam perkembangan, yaitu perkembangan jasmani dan
perkembangan rohani. Perkembangan jasmani ditandai dengan pencapaian
kedewasaan, sedangkan perkembangan rohani ditandai dengan pencapaian tingkat
abilitas/kemampuan yang disebut dengan kematangan.
Fator-faktor yang mempengaruhi perkembangan itu ada tiga, menurut tiga
golongan, yakni golongan Nativisme yang berpendapat bahwa anak itu dipengaruhi
oleh bakat yang dibawanya sejak lahir, golonngan Empirisme berpendapat bahwa
anak itu dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan menurut golongan Konvergensi
yang mengetengahi kedua golongan sebelumnya, bahwa anak itu di samping membawa
bakat dari lahir, juga dipengaruhi oleh lingkungan pula.
Secara garis besar, sikap dan perilaku keagamaan itu menurut William James
dalam bukunya The Varieties of Religious Experience, dapat dikelompokkan
menjadi dua tipe, yaitu:
1. Tipe orang
yang sakit jiwa (The Sick Soul)
Menurut William James, sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui
pada orang yang pernah mengalami latar kehidupan keagamaan yang terganggu.
Artinya seseorang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama
tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang sejak kecil hingga
dewasa. Namun dikarenakan oleh adanya penderitaan batin yang mungkin disebabkan
oleh musibah, konflik batin atau oleh sebab-sebab lainnya.
2. Tipe orang
yang sehat jiwa (Healthy Minded-Ness)
Ciri dan sifat agama pada orang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan
oleh W. Houston Clark dalam bukunya Religion Psychology, yaitu: optimis dan
gembira, ekstrovet dan tidak mendalam, dan menyenangi ajaran ketauhidan yang
liberal.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu
dan Munawar Sholeh. Psikologi Perkembangan, Jakarta, Rineka Cipta, 2005
Jalaluddin. Psikologi
Agama, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1997
Kartono,
Kartini. Teori Kepribadian, Bandung, Alumni, 1979
Kartono,
Kartini. Teori Kapribadian, Bandung, Mandar Maju, 2005
Mappiare,
Andi. Psikologi, Surabaya, Usaha Nasional, 1968
Mubin, dan
Ani Cahyadi. Psikologi Perkembangan, Ciputat, Quantum Teaching, 2006
Sabri, M.
Alisuf. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, Jakarta, Pedoman Ilmu
Jaya,
1997
Sujanto,
Agus, dkk. Psikologi Kepribadian, Jakarta, Bumi Aksara, 2006
W. Crapps,
Robert. Dialog Psikologi dan Agama, Yogyakarta, Kanisius, 2003
No comments:
Post a Comment