ISTISHAB SEBAGAI DALIL
A.
Pengertian Istishab
Istishab secara harfiah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan.
Sedangkan menurut Ulama Ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan
sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau
menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut
keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya .
Apabila seorang mujtahid ditanya
tentang hukum kontrak atau suatu pengelolaan yang tidak ditemukan nash-nya
dalam Al-Quran dan As-Sunah, juga tidak ditemukan dalil syara’ yang meng-itlak-kan
hukum, maka hukumnya boleh.
Dan apabila seorang mujtahid ditanya
tentang hukum binatang, benda-benda, tumbuh-tumbuhan, makan dan minuman, atau
suatu amal yang hukumnya tidak ditemukan dalam suatu dalil syara’ maka hukumnya
adalah boleh. Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 29:
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا
“Dialah Allah, yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS. Al-Baqarah 29)
Dan Allah SWT juag telah menjelaskan
dalam beberapa ayat lainnya, bahwa dia telah menaklukkan segala yang ada di
langit dan di bumi untuk manusia. Dengan kata lain, segala sesuatu yang ada di
bumi itu tidak akan dijadikan dan ditaklukkan, kecuali dibolehkan bagi manusia.
B.
Kehujjahan Istishab
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali para
mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama
Ushul berkata, “Sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredarnya
fatwa”. Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya
selama tidak terdapat dalil yang yang mengubahnya.
Seorang manusia yang hidup tetap
dihukumi atas hidupnya dan pengelolaan atas kehidupan ini diberikan kepadanya
sampai terdapat dalil yang menunjukkan adanya keputusan tentang kematiannya.
Setiap orang yang mengetahui wujud sesuatu, maka dihukumi wujudnya sampai
terdapat dalil yang meniadakannya, dan barang siapa mengetahui ketiadaannya
sesuatu, maka dihukumi dengan ketiadaannya sampai terdapat dalil yang
menunjukkan keberadaannya.
Hukum telah berjalan menurut keadaan
ini. Jadi, suatu kepemilikan misalnya, tetap menjadi milik siapa saja
berdasarkan sebab beberapa kepemilikan. Maka kepemilikan itu dianggap ada
sampai ada ketetapan yang menghilangkan kepemilikan tersebut. Begitu juga
kehalalan pernikahan bagi suami istri sebab akad pernikahan dianggap ada sampai
ada ketetapan yang menghapuskan kehalalan itu.
Istishab juga telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat, antara
lain sebagai berikut, ”Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada munurut keadaan
semula sehingga tyerdapat suatu ketetapan yang mengubahnya”.
Pendapat yang dianggap benar adalah Istishab bisa dijadikan
dalil hukum karena hakikatnya dalillah yang telah menetapkan hukum
tersebut. Istishab itu tiada lain adalah menetapkan dalalah dalil
pada hukumnya.
C.
Pendapat
Ulama tentang Istishab
Ulama hanafiyah menetapkan bahwa
Istishab merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan
apa-apa yang dimaksud oleh mereka. Dengan demikian, jelaslah bahwa Istishab
merupakan ketetapan sesuatu, yang telah ada menurut keadaan semula dan juga
mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas
petbedaannya.
Istishab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap.
Telah dijelaskan tentang penetapan orang yang hilang atau yang tidak diketahui
tempat tinggalnya dan tempat kematiaannya, bahwa orang tersebut ditetapkan
tidak hilang dan dihukumi sebagai orang yang hidup sampai adanya petunjuk yang
menunjukkan kematiannya.
Istishab-lah yang menunjukkan atas hidupnya orang tersebut dan menolak
dugaan kematiannya serta warisan harta bendanya juga perceraian pernikahannya.
Tetapi hal itu bukanlah hujjah untuk menetapkan pewaris dari lainnya.
Adanya perselisihan biasanya terjadi
pada ucapan para sahabat yang keluar dari pendapatnya sendiri sebelum ada
kesepakatan dari sahabat yang lain. Abu Hanifah menyetujui pernyataan tersebut
dan berkata, “Apabila saya tidak mendapatkan hukum dalam Al-Quran dan Assunah,
saya mengambil pendapat para sahabat yang saya kehendaki dan saya meninggalkan
pendapat orangh yang tidak saya kehendaki. Namun, saya tidak keluar dari
pendapat mereka yang sesuai dengan yang lainnya”
Dengan demikian Abu Hanifah tidak
memandang bahwa pendapat seorang sahabat itu sebagai hujjah karena dia bisa
mengambil pendapat mereka yang dia kehendaki, namun dia tidak memperkenankan
untuk menentang pendapat-pendapat mereka secara keseluruhan.
Menurut Abu Hanifah, perselisihan
antara dua orang sahabat mengenai hukum suatu kejadian sehingga terdapat dua
pendapat, bisa dikatakan ijma’ diantara keduanya.
Sedangkan Imam Syafi’I berpendapat
bahwa pendapat orang tertentu di kalangan sahabat tidak dipandang sebagai
hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara
keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbatkan pendapat lain.
Dengan alasan bahwa pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara
perseorangan dari orang yang tidak maksum (tidak terjaga dari dosa).
Selain itu, para sahabat juga
dibolehkan menentang sahabat lainnya. Dengan demikian, para mujtahid juga
dibolehkan menentang pendapat mereka. Maka tidak lah aneh jika Imam Syafi’I
melarang untuk menetapkan hukum atau memberi fatwa, kecuali dari Kitab dan
Sunah atau dari pendapat yang disepakati oleh para ulama dan tidak terdapat
perselisihan diantara mereka, atau menggunakan qiyas pada sebagiannya.
SYARI’AT
SEBELUM KITA (SYAR’U MAN QABLANA)
1.
Hukum Syari’at Sebelum Kita
Jika Al-Quran atau Assunah yang
sahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyari’atkan pada umat yang dahulu
melalui para RAsul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana
diwajibkan kepada mereka. Firman Allah SWT dalam sutah Al-Baqarah : 183,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُم… َ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”. (QS. Al-Baqarah : 183)
Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syari’at yang telah ditetapkan
kepada orang-orang terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita,
para Ulama sepakat bahwa hukum tersebut tidak disyari’atkan kepada kita,
seperti syari’atnya Nabi Musa AS bahwa seseorang yang berbuat dosa tidak akan
diampuni dosanya, kecuali dengan membunuh dirinya sendiri. Dan jika ada najis
yang menempel pada tubuh, tidak akan suci kecuali dengan memotong anggota badan
tersebut, dan lain sebagainya.
2.
Pendapat Para Ulama tentang Syari’at Sebelum Kita
Telah diterangkan di atas bahwa syari’at terdahulu yang jelas
dalilnya, baik berupa penetapan atau penghapusan telah disepakati para Ulama.
Namun yang diperselisihkan adalah apabila pada syari’at terdahulu tidak
terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada kita sebagaimana
diwajibkan pada mereka. Dengan kata lain,apakah dalil tersebut sudah dihapuskan
atau dihilangkan untuk kita? Seperti firman Allah SWT, dalam surah Al-Maidah :
32:
مِنۡ أَجۡلِ ذَٰلِكَ كَتَبۡنَا عَلَىٰ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ
مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا
قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعٗا وَمَنۡ أَحۡيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحۡيَا ٱلنَّاسَ
جَمِيعٗاۚ وَلَقَدۡ جَآءَتۡهُمۡ رُسُلُنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرٗا
مِّنۡهُم بَعۡدَ ذَٰلِكَ فِي ٱلۡأَرۡضِ لَمُسۡرِفُونَ ٣٢
“Oleh karena itu Kami
tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya
telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi”
Jumhur Ulama Hanafiyah, sebagian Ulama Malikiyah, dan Syafi’iyah
berpendapat bahwa hukum tersebut disyari’atkan juga pada kita dan kita berkewajiban
mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita
serta tidak terdapat hukum yang me-nasakh-nya. Alasannya, mereka menganggap
bahwa hal itu termasuk di antara hukum –hukum Tuhan yang telah disyari’atkan
melalui para Rasul-Nya dan diceritakan kepada kita. Maka orang-orang Mukallaf
wajib mengikutinya.
No comments:
Post a Comment