SEJARAH
AL-QURAN DI MASA ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS SAINS AL
QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2013
PENDAHULUAN
Jika ditelusuri
sejarah Al-Quran, mulai dari diterimanya oleh nabi Muhammad saw sampai kepada
pertumbuhan dan perkembangan berikutnya, maka terdapat tiga tahap pembukuan Al
Quran, yaitu pada masa Rasulullah, Abu
Bakar Ash- Sidhiq, dan Utsman bin Affan. Ketiga tahap pembukuan mempunyai ciri,
karakter, tujuan, serta latar belakang yang berbeda.
Pada masa
Rasulullah, Al-Quran setiap kali diturunkan ditulis dan dihafal oleh para
sahabat. Tidak ada ayat Al-Quran yang berlalu begitu saja kecuali semuanya
mereka hafal dan mereka tulis. Penulisan Al-Quran pada masa ini tidak hanya
dilakukan oleh orang-orang tertentu yang ditunjuk nabi sebagai sekretaris wahyu
dimana naskah yang ditulis itu khusus untuk nabi. Tetapi masing-masing sahabat
yang pandai menulis juga menulis Al-Quran untuk pribadinya, seperti yang
dilakukan oleh Ibnu Mas’ud dan Ali bin Abi Tholib.
Penulisan Al-Quran
pada masa nabi masih tersebar dalam lembaran-lembaran, seperti tulang-tulang,
pelepah kurma, dan lain sebagainya, ia belum tersusun secara sempuran dan
berurutan. Sebab, penurunanya masih berlangsung sehingga sulit dilakukan
penulisan secara sempurna dan berurutan. Namun, tidak ada ayatnya yang tidak
ditulis pada masa Rasul. As- Sayuti mengatakan, “Seluruh ayat Al-Quran telah ditulis
dimasa Rasul, tetapi belum terhimpun pada suatu tempat dan surah-surahnya belum
tersusun.
Pada masa
khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq dilakukan kodifikasi terhadap naskah Al- Quran
yang telah ditulis pada masa nabi itu. Karakter kodifikasi Al-Quran pada masa
ini ditangani dengan penyusunan Al-Quran dalam naskah secara rapi dan berurutan,
dimana suatu surah dapat dibaca secara sempurna dalam suatu naskah karena ia
tidak tersebar dalam lembaran-lembaran yang berbeda. Kodifikasi Al-Quran pada
masa Abu Bakar ini dilatarbelakangi oleh kehawatiran Umar bin Al- Khattab atas
kemusnahan Al-Quran, karena begitu banyak para penghafal Al-Quran dari kalangan
sahabat yang tewas dalam peperangan melawan orang-orang murtad. Maka Umar
mengusulkan kepada Abu Bakar agar melakukan kodifikasi terhadap Al Quran.
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Sejarah Pengumpulan
Telah kita kemukakan bahwa Al-Quran
telah ditulis semuanya pada masa Rasulullah saw, akan tetapi belum dikumpulkan
pada satu tempat dan belum pula ditertibkan surah-surahnya. Zaid bin Tsabit
mengatakan : “Rasulullah wafat, sedang Al-Quran dikala itu belum dikumpulkan
pada satu tempat”.
Abu Bakar
menjalankan urusan Islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada
peristiwa-peristiwa besar bekenaan dengan kemurtadan sebagian orang arab.
Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkanya untuk memerangi orang-orang
yang murtad itu. Peperangan yamamah yang terjadi pada tahun 12 hijriyah
melibatkan sejumlah besar sahabat yang menghafal Qur’an gugur. Dalam peperangan
ini tujuh puluh qari (penghafal quran) dari para sahabat gugur. Umar bin
Khattab merasa sangat khawatir melihat kenyatan ini, lalu ia menghadap Abu
Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Qur’an
karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan yamamah telah banyak
membunuh para qari.
Dari segi lain
Umar merasa khawatir juga kalau peperangan di tempat-tempat lain akan membunuh
banyak qari pula sehingga Qur’an akan hilang dan musnah. Abu Bakar menolak
usulan ini dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan Rasulullah.
Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima
usulan Umar tersebut. Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit,
mengingat kedudukanya dalam qiraat, penulisan, pemahaman dan kecerdasannya
serta kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali. Abu Bakar menceritakan
kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Pada mulanya Zaid menolak seperti
halnya Abu Bakar sebelum itu. Keduanya lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya
Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan Qur’an itu.[1]
Dialog antara Abu
Bakar dengan Zaid bin Tsabit:
Abu Bakar : “Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas yang amat
terpercaya, dan engkau adalah seorang penulis wahyu yang selalu disuruh oleh Rasulullah
saw. Oleh karena itu, maka kumpulkanlah al-Quran yang masih berserakan itu
kedalam satu mushhaf.”
Zaid bin Tsabit : “Demi Allah, ini perbuatan yang sangat baik,
seraya mengemukakan alasan-alasan, sebagaimana yang disampaikan oleh Umar bin
Khattab, ketika ia menyampaikan gagasanya terhadap diri Abu Bakar. Akhirnya terbukalah
hati Zaid untuk menerima apa yang diperintahkan oleh Abu Bakar, selaku khalifah
dan sekaligus sahabatnya.”
B.
Inisiatif Zaid Bin Tsabit dalam Pengumpulan Al-Quran
Sebab-sebab dipilihnya Zaid dalam tugas
pengumpulan Al-Quran, terdapat beberapa alasan, antara lain:
1.
Zaid
termasuk penghafal Al-Quran
2.
Zaid
menyaksikan pertemuan terakhir terhadap Al-Quran. Sebagaimana diriwayatkan oleh
Al Baghawi dari Abu Abdirrahman as-Sulami: “Zaid membaca Al-Quran dua kali
dihadapan Rasulullah pada tahun wafatntya Rasul” sampai dikatakan Zaid
bahwa “ia menyesuaikan pertemuannya yang terakhir”. Sedangkan Zaid
membacakan kepada orang-orang sampai ia wafat. Oleh karena itulah Abu Bakar
mempunyai inisiatif untuk mengumpulkannya.
3.
Zaid
termasuk penulis wahyu untuk Rasulullah.
4.
Zaid
adalah orang yang cerdas, wara’ berakhlaq mulia, teguh pada agama, menjunjung
tinggi amanat.
Sebagai
buktinya adalah perkataan Abu Bakar ra tentang Zaid:
“Sesungguhnya
engkau orang yang cerdas. Kami tidak meragukanmu engkau pernah menulis wahyu Rasul
saw.”
Dan
juga perkataan ia sendiri: “Demi Allah seandainya engkau membebaniku dengan
memindahkan gunung, tidaklah lebih berat daripada permintaanmu agar aku
mengumpulkan Al Quran.”[2]
Tatkala
Abu Bakar menyuruh Zaid untuk mengumpulkan Al-Quran, para sahabat langsung
menyerahkan tulisan mereka kepada Zaid dan mengkokohkannya dengan saksi-saksi
yang adil. Dalam menjalankan tugasnya yang teramat berat tapi mulia ini, Zaid
bin Tsabit bertindak sangat hati-hati, sungguh pun sebenarnya ia sendiri sudah
hafal Al-Quran dan sebagai juru tulis wahyu yang paling berperan dan utama pada
masa Rasulullah. Dalam menunaikan tugas sucinya itu, Zaid bin Tsabit tetap
berpegang pada dua hal,yaitu:
1.
Ayat-ayat
Al-Quran yang benar-benar ditulis oleh para sahabat, bersama-sama dengannya
dihadapan Rasulullah saw yang tersimpan di rumah beliau.
2.
Ayat-ayat
Al-Quran yang dihafal oleh para sahabat penghafal Al-Quran yang masih hidup
pada masa itu.
Selaku
ketua dewan dalam menunaikan tugas yang teramat mulai itu, Zaid bin Tsabit
dibantu oleh beberapa anggota dewan yang kesemuanya menghafal Al -Quran. Selain
Zaid bin Tsabit mereka adalah, Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin
Afan, Umar bin Khaththab.[3]
Dalam usaha
menyelesaikan kerja besar itu, kelompok penulis wahyu tersebut secara berkala
mengadakan pertemuan-pertemuan, terutama bila menghadapi kendala dan penulisannya.
Keseriusan dan kesungguhan Zaid bin Tsabit dalam menjalankan tugas tersebut
terlihat jelas, ketika ia mengetahui ada satu ayat yang luput ditulis, yang
belum ditemukan kepastian bunyinya, sehingga terus dilacaknya, sampai akhirnya
menurut pengakuan Zaid, ia mengatakan:”Saya menemukan akhir surat At- taubah
pada Abu Khuzaimah al-Ansory yang tidak aku dapatkan pada orang lain.”
akhir surat itu adalah:
لَقَدۡ
جَآءَكُمۡ رَسُولٞ مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ عَزِيزٌ عَلَيۡهِ مَا عَنِتُّمۡ حَرِيصٌ
عَلَيۡكُم بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ رَءُوفٞ رَّحِيمٞ ١٢٨فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَقُلۡ
حَسۡبِيَ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۖ عَلَيۡهِ تَوَكَّلۡتُۖ وَهُوَ رَبُّ
ٱلۡعَرۡشِ ٱلۡعَظِيمِ ١٢٩
“Sungguh telah datang kepadamu seorang
Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan),
maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya
kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ´Arsy yang
agung.” (QS Ataubah 128-129)
Yang
dimaksud dengan pernyataan Zaid adalah bentuk pengakuan mengenai ditemukanya akhir
surat al taubah hanya di Abu Khuzaimah sebagaimana dikemukakan diatas adalah:
“Bahwa ia tidak menemukan akhir surat al taubah itu dalam bentuk tulis kecuali
pada Abu Khuzaimah.” Pernyataan dengan kalimat demikian itu cukup dapat diterima,
karena banyak diantara sahabat nabi yang menghafal ayat itu, bahkan Zaid
sendiri menghafalnya. Dengan pernyataan itu Zaid hanya hendak memperlihatkan
sikapnya yang amat hati-hati dan sekaligus menunjukan bahwa Al-Quran yang
dihafal para sahabat didalam dada mereka diperkuat kebenarannya oleh
naskah-naskah tertulis.[4]
Dan setelah
kami tulis di buku-buku, telah hilanglah sebuah ayat dari surat al-Ahzab, yang
aku sering mendengarnya Rasulullah membacanya. Tidaklah aku mendapatkannya dari
seorang pun kecuali dari Khuzaimah al-Anshari yang Rasulullah menjadikan
kesaksiannya sama dengan kesaksian dua orang. Ayat tersebut adalah :
z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ×A%y`Í (#qè%y|¹ $tB (#rßyg»tã ©!$# Ïmøn=tã (
Nßg÷YÏJsù `¨B 4Ó|Ós% ¼çmt6øtwU Nåk÷]ÏBur `¨B ãÏàtF^t (
$tBur (#qä9£t/ WxÏö7s? ÇËÌÈ
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa
yang telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur.
dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya).(QS.Al-Ahzab:23)[5]
Kemudian kami
susulkan ayat itu kedalam suratnya. Akhirnya, tulisan Al-Quran itu dibawa oleh
Abu Bakar sampai wafatnya, kemudian Umar sampai wafatnya dan terakhir dibawa
oleh Hafshah binti Umar. Inilah cerita dari Zaid Bin Tsabit sebagimana diriwayatkan
oleh al-Bukhari, ini juga sebagai bentuk ketelitiannya dalam mengemban tugasnya
tersebut.
Abu Bakar dalam
pengarahannya kepada Zaid dan Umar bin Khattab pernah mengatakan:”Duduklah
kalian berdua dipintu masjid (Nabawi). Setiap orang yang datang kepada kalian
membawa dua saksi mengenai sesuatu dari kitab Allah maka hendaklah kalian
tulis”. Menurut ibnu Hajar, pernyataan Abu Bakar mengenai dua saksi dimaksud
adalah mengandung pengertian hafalan dan tulisan. Sedang jumhur ulama
berpendapat bahwa yang dimaksud dua orang saksi dalam pernyataan Abu Bakar itu
adalah bahwa kesaksian tertulis tersebut harus dibawa dua orang yang adil
(orang jujur dan shalih). Disamping itu, juga harus ada dua orang saksi lainya
yang adil dari kalangan penghafal Al-Quran itu sendiri. Oleh karena itu, masing
–masing jenis kesaksian itu tidak cukup kalau hanya diberikan oleh satu orang.
Pendapat ini dilandasi oleh pernyataan Umar yang mengatakan:”Siapa saja yang
pernah menerima sesuatu mengenai Al-Quran dari Rasul hendaknya ia membawanya”.
Dan Umar sendiri tidak mau menerima satu ayat pun dari seorang tanpa terlebih
dahulu dibuktikan kebenarannya oleh dua orang saksi.
Oleh karena
itu, ucapan Zaid yang telah dikemukakan di atas sama sekali tidak memastikan
bahwa akhir surat itu hanya diketahui oleh satu orang saja, sebab Zaid sendiri
juga sudah mendengar dan menghafalnya. Dengan demikain dapat dipahami, bahwa
penelusurannya terhadap ayat-ayat Al-Quran dikalangan para sahabat nabi
terkemuka semata-mata untuk mencocokan catatan yang sudah ada, bukan untuk
memperoleh pengetahuan tentang ayat itu.
Tugas
pengumpulan Al Quran yang dilakukan oleh Zaid tersebut dapat diselesaikan
dengan sangat baik dalam waktu kurang lebih satu tahun, yakni sesuai terjadinya
perang yamamah sampai dengan sebelum wafatnya Abu Bakar. Dengan demikian,
tercatat dalam sejarah, bahwa Abu Bakar adalah orang yang pertama-tama melakukan
perhimpunan ayat-ayat Al-Quran dalam satu mushaf. Sedangkan Umar adalah sebagai
orang yang pertama kali mencetuskan ide untuk menghimpun Al-Quran, serta Zaid
terkenal sebagai orang yang pertama kali melakukan penulisan dan penghimpunan
Al-Quran dalam satu mushaf.[6]
Kita sudah
mengetahui bahwa Qur’an sudah tercatat sebelum masa itu, yaitu ketika masa
nabi, tetapi masih berserakan pada kulit-kulit, tulang dan pelepah kurma. Kemudian
Abu Bakar memerintahkan agar catatan-catatan tersebut dikumpulkan dalam satu
mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surah yang tersusun serta dituliskan dengan
sangat berhati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu Al-Quran
diturunkan. Dengan demikian, Abu Bakar orang pertama yang mengumpulkan Al-Quran
dalam satu mushaf dengan cara seperti ini, disamping terdapat juga
mushaf-mushaf pribadi pada sebagian sahabat, seperti mushaf ali, mushaf ubai,
dan mushaf ibn mas’ud. Tetapi mushaf itu tidak ditulis dengan cara seperti
diatas dan tidak pula dikerjakan dengan penuh ketelitian dan kecermatan, juga
tidak dihimpun secara tertib yang hanya memuat ayat-ayat yang bacaanya tidak
dimansukh dan secara ijma sebagaimana mushaf abu bakar.
Keistimewaan-keistimewaan seperti ini hanya ada pada himpunan Qur’an yang
dikerjakan oleh Abu Bakar. Para ulama berpendapat bahwa penamaan Qur’an dengan
mushaf itu baru muncul sejak saat itu, di saat Abu Bakar mengumpulkan Al-Quran.
Ali berkata:”Orang yang paling besar pahalanya dalam hal mushaf ialah Abu Bakar.
Semoga Allah melimpahkan rahmatnya kepada Abu Bakar. Dialah orang yang pertama
yang mengumpulkan kitab Allah”.[7]
C.
Metode Zaid bin Tsabit dalam
Pengumpulan
Sudah dimaklumi bahwa Zaid hafal
seluruh Al-Quran, serta Al-Quran ditulis olehnya. Dengan demikian tidak
bergantung pada hafalan maupun tulisanya, karena kerja beliau bukan sekedar
mengumpulkan, namun melalui penguatan dan pengokohan pada apa yang ditulis
.sehubungan dengan ini Zarkasyi menyatakan tentang Zaid, beliau mencari dan
membahasnya untuk orang-orang, untuk minta kejelasan, bukan untuk mendiskusikan
ilmu.Dr. Muhamad Husein Haikal mengatakan,”Kita tidak ragu untuk mengatakan
bahwa Zaid mengumpulkan Al-Quran dengan metode penelitian ilmiah yang kita
kenal sekarang. Zaid benar-benar mengumpulkan metode ini dengan cermat”.
Metode zaid dalam pengumpulan pada masa Abu Bakar,
terdiri dari empat prinsip:
1.
Apa
yang ditulis dihadapan Rasul.
2.
Apa
yang dihafalkan oleh para sahabat.
3.
Tidak
menerima sesuatu dari yang ditulis sebelum disaksikan oleh dua orang saksi, bahwa
ia pernah ditulis dihadapan Rasul. Ibnu Hajar Asqalani berkata:
“Tujuan
mereka adalah jangan menulis kecuali jelas bahwa ia ditulis dihadapan
Rasul,tidak mengandalkan hafalan berkala”.
4.
Hendaknya
tidak menerima dari hafalan para sahabat kecuali apa yang telah mereka terima
dari Rasul. Sebenarnya, Umar sering memperingatkan,”Barangsiapa yang pernah
menerima sesuatu Al-Quran dari Rasul hendaklah menyampaikannya pada kami.”[8]
D.
Keistimewaan Pengumpulan Al-quran pada Masa Abu Bakar
Keistimewaan
pengumpulan Al-Quran pada periode Abu Bakar antara lain:
1.
Pengumpulan
pada masa ini dilakukan atas cara-cara pembahasan dan penelitian terdalam dan
kokoh terhadap cara-cara yang telah kami tunjukan pada metode pengumpulan.
2.
Naskih
(penghapusan) terhadap bacaan ayat-ayat tertentu dihilangkan.
3.
Dialek
Arab yang digunakan dalam pengumpulan ini berjumlah 7 dialek, sebagaimana yang
juga ditulis pada kulit daun atau kulit onta pada masa Rasul.
4.
Urutan
ayat-ayat Al-Quran dalam pengumpulan ini telah disepakati, sementara mengenai
surat-suratnya terdapat perbedaan-perbedaan di kalangan ulama.
5.
Para
ulama sepakat, bahwa Al-Quran ditulis satu naskah dalam pengumpulan ini dan
disimpan oleh Abu Bakar, karena kedua-duanya sebagai pemimpin kaum muslimin.
6.
Suksesnya
pengumpulan pada masa ini berkat adanya kesepakatan umat dan kemutawatiranya.
E.
Status Pengumpulan
Pengumpulan
pada masa Khalifah Abu Bakar berhasil dengan kesepakatan para sahabat terhadap
kesahihan dan penelitiannya, serta mereka sepakat atas tidak adanya tambahan
dan pengurangan. Mereka menerimanya dengan cara sungguh-sungguh dan berperan
aktif terhadap apa yang memang dibutuhkan, sampai Ali ra berkata:
“Orang yang pling besar pahalanya dalam hal mushaf adalah Abu
Bakar, karena beliaulah yang pertama pengumpulan apa yang ada diantara dua
tulisan.”[9]
PENUTUP
Pada masa
khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq dilakukan kodifikasi terhadap naskah Al- Quran
yang telah ditulis pada masa nabi. Karakter kodifikasi Al-Quran pada masa ini
ditangani dengan penyusunan Al-Quran dalam naskah secara rapi dan berurutan,
dimana suatu surah dapat dibaca secara sempurna dalam suatu naskah karena ia
tidak tersebar dalam lembaran-lembaran yang berbeda. Tugas pengumpulan Al Quran
ini dilakukan oleh Dewan Zaid dan dapat diselesaikan dengan sangat baik dalam
waktu kurang lebih satu tahun, yakni sesuai terjadinya perang yamamah sampai
dengan sebelum wafatnya Abu Bakar.
Pengumpulan
pada masa Khalifah Abu Bakar juga berhasil dengan kesepakatan para sahabat
terhadap kesahihan dan penelitiannya, serta mereka sepakat atas tidak adanya
tambahan dan pengurangan. Mereka menerimanya dengan cara sungguh-sungguh dan
berperan aktif terhadap apa yang memang dibutuhkan.
Dengan
demikian, tercatat dalam sejarah, bahwa Abu Bakar adalah orang yang
pertama-tama melakukan perhimpunan ayat-ayat Al-Quran dalam satu mushaf.
Sedangkan Umar adalah sebagai orang yang pertama kali mencetuskan ide untuk
menghimpun Al-Quran,
DAFTAR PUSTAKA
Syahin, Abdul Shabur, 2005.”Saat Al Quran Butuh Pembalasan”,
Jakarta: Penerbit Erlangga
Haikal,Muhammad Husain, 2007.”Biografi
Abu Bakar As-Shiddiq”,Jakarta:Qisthi Press
Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, 1996.”Ulumul Qu’ran”, Yogjakarta:Titihan
Ilahi
Mudzakir, 2010.”Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an”,Bogor:Litera Antar Nusa
Usman, 2009.”Ulumul Quran”.
Yogjakarta:Teras
[1]
Drs. Mudzakir AS,”Studi ilmu-ilmu qur’an”,Bogor,Litera antar nusa: 2010,
hlm: 188-189
[2]Dr.Fahd bin Abdurrahman
Ar-Rumi,”Ulumul Qur’an”, Yogjakarta, Titihan Ilahi: 1996, hlm 115
[3]
Dr. Usman, M.Ag,”Ulumul quran”, Yogjakarta, Teras :2009, hlm 70
[4]
Ibid 71
[5]
Dr.muhammad Husain Haikal,biografi Abu Bakar As-shiddiq,Jakarta:Qisthi
press,2007,hlm 366
[6]
Ibid 73
[7]
Ibid hlm 191-192
[8]
Ibid hlm 193
[9]
Ibid hlm 73
No comments:
Post a Comment