Saturday 8 June 2013

ilmu kalam ' aliran al asy'ariyyah '


ALIRAN AL-ASY’ARIYYAH
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam dengan dosen pengampu Bpk Drs.H. Syarif Hidayat.



Disusun oleh:





UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2013


A.    Sejarah  Al-Asy’ariyah
Kata  Al-Asy’ariyah diambil dari nama pendirinya yaitu Al-Asy’ary adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-asy’ari.[1] menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ary lahir di Bashrah pada tahun 260 H/ 875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah kekota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/ 935 M.
            Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asy’ary adalah seorang yang berpaham ahlussunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ary masih kecil sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakariya bin Yahya As-saji agar mendidik Al-Asy’ary.[2] Ibu Al-Asy’ary, sepeninggal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh Muktazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i (wafat 303 H/ 915 M.) 3333 ayah kandung  Abu Hasyim Al-Jubba’i (wafat 321 H/ 932 M).333 Berkat didikan ayah tirinya itu, al-Asy’ari kemudian tokoh Muktazilah. Ia sering mengantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Muktazilah.. Selain itu, banyak menulis buku yang membela alirannya.222
            Al-asy’ary menganut faham muktazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan didepan jamaahnya masjid Bashrah bahwa dirinya telah meningalkan faham muktazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya. Menurut Ibnu Asakir, yang melatarbelakangi Al-Ay’ari meninggalkan faham Muktazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, malam ke-20, malam ke-30 bulam Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkan agar meningalkan faham Muktazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan beliau.22222




B.     Tokoh-Tokoh Al-Asy’ariyyah
Jikalau Al-Asy’ari merupakan pemuka yang pertama membentuk aliran yang kemudian memakai namanya, maka pemuka-pemuka yang memperkembangkan aliran ini adalah tokoh-tokoh besar yang mempunyai andil dalam menyebarluaskan dan memperkuat mazhab ini. Diantara pengikut yang terpenting adalah:

1.    Muhammad Iba Al-Tayyib ibn Muhammad Abu Bakar Al- Baqillani (403 H)

Abu Bakar Al-Baqillani adalah pengganti pertama dari Asy’ari, lahirnya beberapa tahun setelah Asy’ari dan wafat di Baghdad tahun 1013 M. Al-Baqillani tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Dalam beberapa hal dia tidak sepaham dengan Asy’ari.

Apa yang disebut sifat Allah umpamanya bagi Al-baqillani bukanlah sifat tetapi hal yang sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari mu’tazillah; sungguh pun ia, pada mulanya mempunyai pendapat yang sebaliknya. Dia juga sepaham dengan pendapatnya Asy’ari mengenai paham perbuatan manusia. Kalau bagi Asy’ari perbuatan Allah diciptakan oleh Allah SAW. Menurut Baqillani ssendiri, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. 

Yang di maksud Tuhan adalah gerak yang terdapat dalam diri manusia; adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Dengan kata lain gerak dalam diri manusia mengambil berbagai bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan, dan sebagainya. Gerak sebagai Genus (jenis) adalah ciptaan Tuhan, tetapi duduk, berdiri dan sebagainya yang merupakan spectes (new’). Dari gerak adalah perbuatan manusia dan Allah lah yang menciptakan itu, bagi Asy’ari daya manusia dalam kasb tidak mempunyai efek, bagi Al-Baqillani daya itu mepunyai efek.


2.    Imam Al-Haramain (478 H= 1058 M)

            ‘Abd Al-malilo Al-jawaini yang terkenal dengan nama imam Al-haramain, ia lahir di kurasan tahun 419 H dan wafat pada tahun 478 H. Sama dengan Al-baqillani, Al-jawaini juga tidak selamanya setuju dengan ajaran-ajaran Asy’ari. Mengenai anthropomurphisme ia berpendapat bahwa tangan Tuhan harus diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan. Mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan wujud Tuhan. Dan keadaan duduk di atas tahta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.

            Mengenai perbuatan manusia Al-Juwaini berbeda pendapat dengan Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia dalam pendapat Al-Juwaini juga mempunyai efek. Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musahab. Wujud tergantung pada daya yang ada pada manusia. Dengan demikian Al-juwaini berada jauh dari paham Al-Asy’ari dan lebih dekat dengan paham mu’tazillah tentang causahty.




3.    Abu Hamid Al-Gazali (505 H= 1111 M)

            Al-gazali adalah tokoh Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jama’ah paham teologi yang dimajukan boleh dikatakan tidak berbeda dengan paham-paham Asy’ari. Al-gazali mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan. Juga Al-quran dalam pendapatnya bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan dan daya itu terdapat pada diri manusia. Al-Gazali mempunyai paham yang sama dengan Asy’ari tentang beautific vision yaitu Tuhan bisa dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Penolakan terhadap paham keadilan yang ditimbulkan kaum mu’tazillah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahan manusia. Tuhan berkuasa mutlak dan tidak akan bertentangan dengan sifat-sifat ketuhanan-Nya.
            Menurut Al-Gazali, Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam. Ia ciptakan dengan kehendak dan kekuasaannya, karena kehendak Allah adalah sebab bagi segala yang ada, sedangkan ilmunya meliputi segala sesuatu. Atas pengaruh Al-Gazali, ajaran Al-Asy’ari yang serupa inilah yang meluas dikalangan Islam ahli sunnah dan jama’ah.

4.    Al-Syahrastani (548 H= 1153 M)

Al-Syahrastani benar-benar menguasai sejarah dan pendapat-pendapat dari berbagai aliran Islam. Itu ia paparkan secara obyektif di dalam bukunya, al-milal wa al-Nihal (agama dan kepercayaan) yang sudah di kenal para analisis sejak abad yang lampau sebelum mereka menemukan kembali Maqalat al-islamiyyin karya Al-Asy’ari itu. Buku ini mereka jadikan rujukan, bahkan sampai hari ini.

Al-syahrastani tidak hanya meemfokuskan diri pada kelompok-kelompok keagamaan, tetapi juga mengkaji par filosof klasik dan modern. Penguasaan filosofinya ternyata amat mendalam dan sempurna. Nampak bahwa Al-syahrastani banyak terpengaruh oleh ibnu Sina, walaupun ia juga mengritik dan menentangkan.


C.     Ajaran Faham Al-Asy’ariyyah
           
            Formulasi pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial, menampilkan upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan muktazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas jelas menampakan sifat yang reaksonis terhadap Muktazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.2222 pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting sebagai berikut ini:
a.       Tuhan dan Sifat-Sifatnya
Perbedaan pendapat dikalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asy’ri dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok Mujassimah (antropromofis) dan kelompok Musyabbihah berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Dilain pihak, ia berhadapan dengan kelompok muktazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah itu sendiri, tetapi sejauh menyangkut reaalitasnya, (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.222
b.      Kebebasan dalam Berkehendak (Free Will)
Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.222 Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (sang khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya, hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu.
c.       Kakal dan wahyu dan keriteria baik dan buruk
Walauoun Al-Asyariyah da orang-orang mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memeperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al Asyari mengutamakan wahyu, sedangkan mu’tazilah mengutamakan akal.
d.      Qodimnya Alquran
Al Asyariyah dihadapkan pada sua pandangan ekstrim dalam persoalan qodimnya Al Quran. Muktazilah yang mengatakan bahwa Al quran diciptakan (makhluk) sehingga tidak qodim serta pandangan mazhab hanbali dan zahiriyah yang menyatakan bahwa Al quran adalah kalam Allah. Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al quran adalah qadim.
e.       Melihat Allah
Al Asyariah tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah, yangg menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa ALLAH bersemayam di akhirat. Selain itu ia tidak sepaham dengan muktazilah yang mengingkari akhirat.ia yakin bahwa ALLAH dapat dilihat di akhirat tetapi tidak dapat digambarakan.kemungkinan rukyat dapat terjadi manakala ALLAH sendiri yang menyebabkan dapat di lihat.


     
B.


[1] Abdurrahman Badawi, Mazhab Al-Islamiyyin, Dar Ilm li Al-Maliyin, 1984, hlm. 92.
[2]

No comments:

Post a Comment