ALIRAN
AL-ASY’ARIYYAH
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam dengan dosen pengampu
Bpk Drs.H. Syarif Hidayat.
Disusun
oleh:
UNIVERSITAS
SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
JAWA
TENGAH DI WONOSOBO
2013
A.
Sejarah Al-Asy’ariyah
Kata Al-Asy’ariyah diambil dari nama pendirinya
yaitu Al-Asy’ary adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin
Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-asy’ari.[1]
menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ary lahir di Bashrah pada tahun 260 H/ 875 M.
Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah kekota Baghdad dan wafat di sana
pada tahun 324 H/ 935 M.
Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asy’ary
adalah seorang yang berpaham ahlussunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika
Al-Asy’ary masih kecil sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya
yang bernama Zakariya bin Yahya As-saji agar mendidik Al-Asy’ary.[2]
Ibu Al-Asy’ary, sepeninggal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh
Muktazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i (wafat 303 H/ 915 M.) 3333 ayah
kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i (wafat 321
H/ 932 M).333 Berkat didikan ayah tirinya itu, al-Asy’ari kemudian tokoh
Muktazilah. Ia sering mengantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang
lawan-lawan Muktazilah.. Selain itu, banyak menulis buku yang membela alirannya.222
Al-asy’ary menganut faham muktazilah
hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan
didepan jamaahnya masjid Bashrah bahwa dirinya telah meningalkan faham
muktazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya. Menurut Ibnu Asakir, yang
melatarbelakangi Al-Ay’ari meninggalkan faham Muktazilah adalah pengakuan
Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Sebanyak tiga kali, yaitu
pada malam ke-10, malam ke-20, malam ke-30 bulam Ramadhan. Dalam tiga mimpinya
itu, Rasulullah memperingatkan agar meningalkan faham Muktazilah dan membela
faham yang telah diriwayatkan beliau.22222
B. Tokoh-Tokoh
Al-Asy’ariyyah
Jikalau Al-Asy’ari merupakan pemuka
yang pertama membentuk aliran yang kemudian memakai namanya, maka pemuka-pemuka
yang memperkembangkan aliran ini adalah tokoh-tokoh besar yang mempunyai andil
dalam menyebarluaskan dan memperkuat mazhab ini. Diantara pengikut yang
terpenting adalah:
1. Muhammad Iba
Al-Tayyib ibn Muhammad Abu Bakar Al- Baqillani (403 H)
Abu Bakar Al-Baqillani adalah pengganti pertama dari Asy’ari, lahirnya beberapa tahun setelah Asy’ari dan wafat di Baghdad tahun 1013 M. Al-Baqillani tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Dalam beberapa hal dia tidak sepaham dengan Asy’ari.
Apa yang disebut sifat Allah umpamanya bagi Al-baqillani bukanlah sifat tetapi hal yang sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari mu’tazillah; sungguh pun ia, pada mulanya mempunyai pendapat yang sebaliknya. Dia juga sepaham dengan pendapatnya Asy’ari mengenai paham perbuatan manusia. Kalau bagi Asy’ari perbuatan Allah diciptakan oleh Allah SAW. Menurut Baqillani ssendiri, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya.
Yang di maksud Tuhan adalah gerak yang terdapat dalam diri manusia; adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Dengan kata lain gerak dalam diri manusia mengambil berbagai bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan, dan sebagainya. Gerak sebagai Genus (jenis) adalah ciptaan Tuhan, tetapi duduk, berdiri dan sebagainya yang merupakan spectes (new’). Dari gerak adalah perbuatan manusia dan Allah lah yang menciptakan itu, bagi Asy’ari daya manusia dalam kasb tidak mempunyai efek, bagi Al-Baqillani daya itu mepunyai efek.
2. Imam Al-Haramain (478 H= 1058 M)
‘Abd Al-malilo Al-jawaini yang terkenal dengan nama imam Al-haramain, ia lahir di kurasan tahun 419 H dan wafat pada tahun 478 H. Sama dengan Al-baqillani, Al-jawaini juga tidak selamanya setuju dengan ajaran-ajaran Asy’ari. Mengenai anthropomurphisme ia berpendapat bahwa tangan Tuhan harus diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan. Mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan wujud Tuhan. Dan keadaan duduk di atas tahta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.
Mengenai perbuatan manusia Al-Juwaini berbeda pendapat dengan Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia dalam pendapat Al-Juwaini juga mempunyai efek. Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musahab. Wujud tergantung pada daya yang ada pada manusia. Dengan demikian Al-juwaini berada jauh dari paham Al-Asy’ari dan lebih dekat dengan paham mu’tazillah tentang causahty.
3. Abu Hamid
Al-Gazali (505 H= 1111 M)
Al-gazali adalah tokoh Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jama’ah paham teologi yang dimajukan boleh dikatakan tidak berbeda dengan paham-paham Asy’ari. Al-gazali mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan. Juga Al-quran dalam pendapatnya bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan dan daya itu terdapat pada diri manusia. Al-Gazali mempunyai paham yang sama dengan Asy’ari tentang beautific vision yaitu Tuhan bisa dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Penolakan terhadap paham keadilan yang ditimbulkan kaum mu’tazillah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahan manusia. Tuhan berkuasa mutlak dan tidak akan bertentangan dengan sifat-sifat ketuhanan-Nya.
Menurut
Al-Gazali, Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam. Ia ciptakan dengan
kehendak dan kekuasaannya, karena kehendak Allah adalah sebab bagi segala yang
ada, sedangkan ilmunya meliputi segala sesuatu. Atas pengaruh Al-Gazali, ajaran
Al-Asy’ari yang serupa inilah yang meluas dikalangan Islam ahli sunnah dan
jama’ah.
4. Al-Syahrastani (548 H= 1153 M)
Al-Syahrastani benar-benar menguasai sejarah dan pendapat-pendapat dari berbagai aliran Islam. Itu ia paparkan secara obyektif di dalam bukunya, al-milal wa al-Nihal (agama dan kepercayaan) yang sudah di kenal para analisis sejak abad yang lampau sebelum mereka menemukan kembali Maqalat al-islamiyyin karya Al-Asy’ari itu. Buku ini mereka jadikan rujukan, bahkan sampai hari ini.
Al-syahrastani tidak hanya meemfokuskan diri pada kelompok-kelompok keagamaan, tetapi juga mengkaji par filosof klasik dan modern. Penguasaan filosofinya ternyata amat mendalam dan sempurna. Nampak bahwa Al-syahrastani banyak terpengaruh oleh ibnu Sina, walaupun ia juga mengritik dan menentangkan.
C.
Ajaran
Faham Al-Asy’ariyyah
Formulasi
pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial, menampilkan upaya sintesis antara
formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan muktazilah di sisi lain. Dari segi
etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas jelas
menampakan sifat yang reaksonis terhadap Muktazilah, sebuah reaksi yang tidak
dapat dihindarinya.2222 pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting sebagai
berikut ini:
a.
Tuhan
dan Sifat-Sifatnya
Perbedaan pendapat dikalangan mutakalimin mengenai
sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan
Allah adalah wajib. Al-Asy’ri dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu
pihak ia berhadapan dengan kelompok Mujassimah (antropromofis) dan kelompok
Musyabbihah berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam
Al-Qur’an dan Sunnah dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti
harfiahnya. Dilain pihak, ia berhadapan dengan kelompok muktazilah yang
berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun
tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara
harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.Menghadapi dua kelompok
tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu,
seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara
harfiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiah).
Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga
tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah itu sendiri, tetapi sejauh menyangkut
reaalitasnya, (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak
berbeda dengan-Nya.222
b.
Kebebasan
dalam Berkehendak (Free Will)
Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih,
menentukan, mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim,
yakni Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham kebebasan mutlak dan
berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.222 Al-Asy’ari
membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (sang
khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya,
hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu.
c.
Kakal
dan wahyu dan keriteria baik dan buruk
Walauoun Al-Asyariyah da orang-orang mu’tazilah mengakui
pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang
memeperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al Asyari mengutamakan
wahyu, sedangkan mu’tazilah mengutamakan akal.
d.
Qodimnya
Alquran
Al Asyariyah dihadapkan pada sua pandangan ekstrim dalam
persoalan qodimnya Al Quran. Muktazilah yang mengatakan bahwa Al quran
diciptakan (makhluk) sehingga tidak qodim serta pandangan mazhab hanbali dan
zahiriyah yang menyatakan bahwa Al quran adalah kalam Allah. Zahiriyah bahkan
berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al quran adalah qadim.
e.
Melihat
Allah
Al Asyariah tidak sependapat dengan kelompok ortodoks
ekstrim, terutama zahiriyah, yangg menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di
akhirat dan mempercayai bahwa ALLAH bersemayam di akhirat. Selain itu ia tidak
sepaham dengan muktazilah yang mengingkari akhirat.ia yakin bahwa ALLAH dapat
dilihat di akhirat tetapi tidak dapat digambarakan.kemungkinan rukyat dapat
terjadi manakala ALLAH sendiri yang menyebabkan dapat di lihat.
B.
No comments:
Post a Comment