SISTEM PENDIDIKAN DALAM
PESANTREN
Makalah Ini
Dibuat Guna Melengkapai Tugas Mata Kuliah Study Pesantren yang diampu oleh
Bapak Ghurfon Efendi, M.Pd
Oleh :
1.
Ahmad
Saiful rijal
2.
Titi
Suwarni
3.
Nisafina
Fuaini
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS
SAINS AL QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI
WONOSOBO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang
bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai
pedoman hidup keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu,
serta telah menjangkau hamper seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren
telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pada masa kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga
pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia
pendidikan. Tidak sedikit pemimpin bangsa yang ikut memproklamirkan kemerdekaan
bangsa ini adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.
Namun, kini reputasi
pesantren tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Muslim Indonesia.
Mayoritas pesantren masa kini terkesan berada di menara gading, elitis, jauh
dari realitas social. Problem sosialisasi dan aktualisasi ini ditambah lagi
dengan problem keilmuan, yaitu terjadi kesenjangan, alienasi (keterasingan) dan
differensiasi (pembedaan) antara keilmuan pesantren dengan dunia modern.
Sehingga terkadang lulusan pesantren kalah bersaing atau tidak siap berkompetisi
dengan lulusan umum dalam urusan profesionalisme di dunia kerja. Dunia
pesantren dihadapkan kepada masalah-masalah globalisasi, yang dapat dipastikan
mengandung beban tanggung jawab yang tidak ringan bagi pesantren.
Semakin disadari,
tantangan dunia pesantren semakin besar dan berat dimasa kini dan mendatang.
Paradigma “mempertahankan warisan lama yang masih relevan dan mengambil hal
terbaru yang lebih baik” perlu direnungkan kembali. Pesantren harus mampu
mengungkai secara cerdas problem kekiniankita dengan pendekatan-pendekatan
kontemporer. Disisi lain, modernitas, yang menurut beberapa kalangan harus
segera dilakukan oleh kalangan pesantren, ternyata berisi paradigm dan
pandangan dunia yang telah merubah cara pandang lama terhadap dunia itu sendiri
dan manusia.
Dalam konteks yang
dilematis ini, pilihan terbaik bagi insane pesantren adalah mendialogkannya
dengan paradigm dan pandangan dunia yang telah diwariskan oleh generasi
pencerahan Islam. Maksudnya, insane pesantren perlu memosisikan warisan masa
lalu sebagai “teman dialog” bagi modernitas dengan segala produk yang
ditawarkannya. Mereka harus membaca khazanah lama dan baru dalam frame yang
terpisah. Masa lalu hadir atau dihadirkan dengan terang dan jujur, lalu
dihadapkan dengan kekinian. Boleh jadi masa lalu tersebut akan tampak “basi”
dan tak lagi relevan, namun tak menutup kemungkinan masih ada potensi yang
dapat dikembangkan untuk zaman sekarang.
Salah satu hal yang
perlu dimodifikasi adalah system pendidikan pesantren. System pembelajaran
tradisional, yaitu sorogan, bandongan, balaghan, atau
halaqah seharusnya mulai diseimbangkan dengan system pembelajaran
modern. Dalam aspek kurikulum juga seharusnya kalangan pesantren berani
mengakomodasi dari kurikulum pemerintah.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian pesantren?
2. Apa saja macam-macam pesantren?
3. Bagaimana dinamika pesantren mulai ada hingga sekarang?
4. Bagaimana system pendidikan pesantren?
5. Apa saja dan bagaimana model pendidikan dalam proses modernisasi system
pendidikan pesantren?
6. Apa pengaruh modernisasi system pendidikan pesantren terhadap eksistensi
pesantren itu sendiri
BAB II
PESANTREN
A. Pengertian Pesantren
Secara bahasa, kata
pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan
akhiran -an (pesantrian) yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan
kata santri sendiri berasal kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa
sansekerta yang artinya melek huruf. Dalam hal ini menurut Nur Cholis Majid
agaknya didasarkan atas kaum santri adalah kelas literary bagi orang jawa yang
berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Ada
juga yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, yang
berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi
menetap.
Sedangkan secara istilah,
Husein Nasr mendefinisikan pesantren dengan sebutan dunia tradisional Islam.
Maksudnya, pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas
tradisi Islam yang dikembangkan ulama’ (kiai) dari masa ke masa, tidak terbatas
pada periode tertentu dalam sejarah Islam.
Di Indonesia, istilah
pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan
pesantren, pondok berasal dari bahasa Arab funduq, yang
berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal sederhana.Dari terminology
diatas, mengindikasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya
Indonesia. Mungkin dari sinilah Nur Cholis Majid berpendapat bahwa secara
historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga makna
keaslian Indonesia. Sebab, memang cikal bakal lembaga pesantren sebenarnya
sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan,
dan mengislamkannya.
B. Dinamika Pesantren
Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis di
pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar
abad ke-18. 17 bahkan ada yang
mengatakan sejak abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan
ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini
kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar
(santri), yang kemudian disebut pesantren. 18 Pesantren pertama
didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim. 19 Meskipun bentuknya
masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan
satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur. Sehingga pendidikan ini
dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami
doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.
Lembaga ini semakin
berkembang pesat dengan adanya sikap non kooperatif para ulama terhadap
kebijakan “politik etis” pemerintah kolonial Belanda dengan memberikan
pendidikan modern, termasuk budaya barat. Namun pendidikan yang diberikan
sangat terbatas, hanya sekitar 3% penduduk Indonesia. Berarti sekitar 97%
penduduk Indonesia buta huruf. Sikap para ulama tersebut dimanifestasikan
dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari
intervensi Belanda serta memberi kesempatan kepada rakyat yang belum mendapat
pendidikan.
Pada tahun 1860-an,
jumlah pesantren mengalami peledakan jumlah yang sangat signifikan, terutama di
Jawa yang diperkirakan 300 buah. Perkembangan tersebut ditengarai berkat
dibukanya terusan Suez pada 1869 sehingga memungkinkan banyak pelajar Indonesia
mengikuti pendidikan di Mekkah. Sepulangnya ke kampung halaman, mereka
membentuk le,baga pesantren di daerahnya masing-masing.
Pada era 1970-an,
pesantren mengalami perubahan yang sangat signifikan yang tampak dalam beberapa
hal. Pertama, peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah
pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa pada tahun 1977, ada 4.195
pesantren dengan jumlah santri sebanyak 667.384 orang. Jumlah tersebut
meningkat menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397 orang santri pada tahun 1981.
kemudian jumlah tersebut menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri sebanyak
5,9 juta orang pada tahun 1985.23Kedua, menyangkut
penyelenggaraan pendidikan. Perkembangan bentuk-bentuk pendidikan di pesantren
tersebut diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:
1. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan
kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun
yang juga memiliki sekolah umum. Seperti Pesantren Denanyar Jombang, Pesantren
Darul Ulum Jombang, dan lain-lain.
2. Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan agama dalam bentuk
Madrasah Diniyah, seperti Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Ploso Kediri,
Pesantren Sumber Sari Kediri, dan lain sebagainya.
3. Pesantren yang hanya sekedar manjadi tempat
pengajian, seperti Pesantren milik Gus Khusain Mojokerto.
2. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk Madrasah
dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum meski tidak menerapkan kurikulum
nasional. Dengan kata lain, ia mengunakan kurikulum sendiri. Seperti Pesantren
Modern Gontor Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta. kurikulum sendiri. Seperti
Pesantren Modern Gontor Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta.
Perkembangan
akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa pesantren ada yang tetap berjalan
meneruskan segala tradisi yang diwarisinya secara turun temurun, tanpa ada
perubahan dan improvisasi yang berarti, kecuali sekedar bertahan. Namun ada
juga pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan mendapatkan
hasil yang lebih baik dalam waktu singkat. Pesantren semacam ini adalah
pesantren yang kurikulumnya berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan
masyarakat sekitarnya. 28
Meskipun demikian,
semua perubahan itu, sama sekali tidak mencerabut pesantren dari akar
kulturnya. Secara umum pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai: (1)
Lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu pengetahuan agama (tafaqquh
fi addin) dan nilai-nilai islam (Islamic values). (2)
Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control). (3)
Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (Social engineering). Perbedaan-perbedaan
tipe pesantren diatas hanya berpengaruh pada bentuk aktualisasi peran-peran
ini.
BAB III
MODERNISASI PENDIDIKAN PESNTREN
A. Model
Modernisasi Pendidikan Pesantren
Modernisasi atau
inovasi pendidikan pesantren dapat diartikan sebagai upaya untuk memecahkan
masalah pendidikan pesantren. Atau dengan kata lain, inovasi pendidikan
pesantren adalah suatu ide, barang, metode yang dirasakan atau diamati sebagai
hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang , baik berupa hasil penemuan
(invention) maupun discovery, yang digunakan untuk
mencapai tujuan atau memecahkan masalah pendidikan pesantren.
Miles mencontohkan
inovasi (modernisasi) pendidikan adalah sebagai berikut
1. Bidang personalia. Pendidikan yang merupakan bagian dari sistem sosial,
tentu menentukan personel sebagai komponen sistem. Inovasi yang sesuai dengan
komponen personel misalnya adalah peningkatan mutu guru, sistem kenaikan
pangkat, dan sebagainya. 31 Dalam hal ini,
pesantren telah di bantu dengan adanya program Beasiswa S1 untuk guru diniyah
oleh Departemen Agama.
2. Fasilitas fisik. Inovasi pendidikan yang sesuai dengan komponen ini
misalnya perubahan tempat duduk, perubahan pengaturan dinding ruangan
perlengkapan Laboratorium bahasa, laboratorium Komputer, dan sebagainya. 32
3. Pengaturan waktu. Suatu sistem pendidikan tentu memiliki perencanan
penggunaan waktu. Inovasi yang relevan dengan komponen ini misalnya pengaturan
waktu belajar, perubahan jadwal pelajaran yang dapat memberi kesempatan
siswa/mahasiswa untuk memilih waktu sesuai dengan keperluannya, dan lain
sebagainya.
Menurut Nur Cholis
Majid, yang paling penting untuk direvisi adalah kurikulum pesantren yang
biasanya mengalami penyempitan orientasi kurikulum. Maksudnya, dalam pesantren
terlihat materinya hanya khusus yang disajikan dalam bahasa Arab. Mata
pelajarannya meliputi fiqh, aqa’id, nahwu-sharf, dan
lain-lain. Sedangkan tasawuf dan semangat keagamaan yang merupakan
inti dari kurikulum keagamaan cenderung terabaikan. Tasawuf
hanya dipelajari sambil
lalu saja, tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih
berfungsi dalam masyarakat zaman modern. Disisi lain, pengetahuan umum
nampaknya masih dilaksanakan secara setengah-setengah, sehingga kemampuan
santri biasanya samgat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari masyarakat
umum. Maka dari itu, Cak Nur menawarkan kurikulum Pesantren Modern Gontor
sebagai model modernisasi pendidikan pesantren.
B. Plus
Minus Modernisasi Pendidikan Pesantren
Dalam menanggapi
gagasan ini, tampak kalangan pesantren terbelah menjadi dua, yaitu pro dan
kontra. Adanya kontroversi ini mungkin lebih disebabkan pada perbedaan pendapat
mereka tentang bagaimana sikap pesantren dalam menghadapi era globalisasi.
Mereka yang pro mengatakan bahwa modernisasi pesantren akan memberi angin segar
bagi pesantren. Mereka menganggap bahwa banyak sisi positif yang akan diperoleh
dengan modernisasi pendidikan di pesantren. Di antara sisi positif tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bentuk adaptasi pesantren terhadapperkembangan era globalisasi. Hal
ini mutlak harus dilakukan agar pesantren tetap eksis.
2. Sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan dalam sistem pendidikan
pesantren.
Sedangkan bagi kalangan
pesantren yang tidak setuju dengan gagasan modernisasi berpendapat bahwa
gagasan tersebut banyak sisi negatifnya, diantaranya adalah: Modernitas akan
merubah cara pandang lama terhadap dunia dan manusia.
Terlepas dari polemik
tersebut, perbedaan pendapat yang terjadi telah mendatangkan sisi positif
tersendiri bagi pesantren. Hal itu telah membuktikan hadits Nnabi Muhammad Saw
”ikhtilafu ummati rahmatun” yang artinya ”perbedaan pendapat dalam
umatku adalah rahmat”. Diantara manfaat dari perbedaan pendapat dalam masalah
ini adalah: Melahirkan banyak pesantren yang bervariasi. Banyak pesantren yang
memiliki ciri khas masing-masing. Ini memberikan banyak pilihan kepada calon
santri dalam menentukan pesantren yang sesuai dengan bakat, minat serta
cita-citanya.
Lahirnya santri yang
beraneka ragam. Hal ini mengubur paradigma bahwa santri hanya mampu di bidang
agama saja. Saat ini, banyak sekali santri yang ahli di bidang pengetahuan
umum.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pesantren merupakan
salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk
mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian.
Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu, serta telah menjangkau
hamper seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren telah diakui sebagai
lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada masa
kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang
sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia pendidikan. Tidak
sedikit pemimpin bangsa yang ikut memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini adalah
alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.
Secara bahasa, kata
pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan
akhiran -an (pesantrian) yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan
kata santri sendiri berasal kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa
sansekerta yang artinya melek huruf. Dalam hal ini menurut Nur Cholis Majid
agaknya didasarkan atas kaum santri adalah kelas literary bagi orang jawa yang
berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Ada
juga yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, yang
berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi
menetap.
Dalam perspektif
sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini telah
mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke-18. 42 Bahkan ada yang mengatakan
sejak abad ke-13. saat ini, pekembang pesantren sangat pesat. Pada awal
perkembangannya hanya berjumlah 300 buah, dan berkembang menjadi 15.900
pesantren dengan jumlah santri sebanyak 5,9 juta orang pada tahun 1985. 43 bisa dibayangkan
berapa banyak jumlah pesantren dan santrinya saat ini.
Gagasan modernisasi
dianggap perlu dilakukan oleh beberapa kalangan, salah satunya adalah Nur
Cholis Majid. Ia berpendapat bahwa modernisasi ini sebaiknya dilakukan dengan
model sistem pendidikan Pesantren Modern Gontor Ponorogo.
DAFTAR PUSTAKA
A’la, Abd.
2006. Pembaruan Pesantren,cet I.
Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara.
Iskandar,
Muhaimin. 2007. Gus Dur, Islam dan
Kebangkitan Indonesia, Cet.I. Jakarta: KLIK R.
Khozin. 2006.
Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. II. Malang: UMM Press.
Malik, Jamaludin. 2005.
Pemberdayaan Pesantren, Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan
Metode Daurah Kebudayaan, Cet. I,Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Muryono, Mastuki HS,
Imam Safe’I, Sulton Mashud, Moh. Khusnuridho. 2005. Manajemen Pondok
Pesantren,Cet. II. Jakarta: Diva Pustaka
Yasmadi. 2002. Modernisasi
Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap PendidikanIslam
Tradisional,Jakarta: Ciputat Press.
perpaduan lagunya pas,, jadi baca blognya gx boring,,,
ReplyDelete