Hubungan Korupsi dan
Degradasi Moral pada Pejabat
Edward Gibbon
mengatakan, Kemerosotan moral adalah penyebab hancurnya bangsa-bangsa di
dunia. Kemrosotan moral atau bisa kita sebut “akhlaq” Sejarah umat manusia telah banyak menyaksikan
pelanggaran yang serupa dengan terjadinya kemerosotan moral (degradasi moral),
dan akibatnya rezim-rezim, bangsa-bangsa runtuh, hancur tak tersisa. Sebab,
semuanya itu akan menjerumuskan masyarakat kepada kemerosotan moral.
Kemerosotan moral dengan gejala gaya hidup mewah berlebihan itulah penyebab
utama hancurnya negara. Maka, usaha menegakkan standar moral merupakan salah
satu urgensi bagi bangsa kita. Sekali lagi, lemahnya standar moral inilah yang
menyebabkan kita sekarang mengalami banyak sekali penyelewengan dan kejahatan
terutama “korupsi”, lebih-lebih korupsi dalam bentuk conflict of interest.
Perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia penuh
dengan hambatan. Hal ini tampaknya disebabkan oleh masih melekatnya budaya
feodalisme yang dulu pernah menggelayuti bangsa ini. Ciri utama feodalisme
adalah penghambaan rakyat terhadap penguasa, dengan hirarki tinggi-rendah.
Diyakini banyak orang bahwa merajalelanya korupsi merupakan lanjutan dari
tradisi upeti masyarakat feodal itu.
Parahnya lagi, Jika kita lihat saat ini, korupsi muncul
dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum. Seperti
memberikan hadiah kepada pejabat atau pegawai negeri atau keluarganya sebagai
imbal jasa sebuah pelayanan. Kebiasaan seperti itu tampak sama dengan sistem
upeti yang dulu pernah terjadi di bangsa ini. Dan, kebiasaan koruptif inilah
yang lama-kelamaan akan menjadi bibit-bibit korupsi yang nyata.
Ditambah dengan mengendornya moral dan dimensi
kerohanian dalam pola hidup modern yang materialistik, orientasi hidup
kebendaan, dikaitkan dengan feodalisme, menjadi tolak ukur tinggi rendahnya
gengsi dan harga diri banyak orang, yang mengakibatkan semua ukuran manusia di
Indonesia adalah materi dan hanya materi.
Dan, jika ada masalah mengenai materialisme atau kebendaan
tersebut, maka terdapat indikasi yang aneh terhadap bangsa kita, mereka mulai
kembali berbondong-bondong meminta bantuan kepada Tuhan untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Di mana, masyarakat telah asyik dengan materinya, Tuhan tak
pernah ada dalam ingatannya, dan jika materi itu telah hilang, seketika itu
juga Tuhan dipaksa untuk hadir dalam ingatannya. Sekali lagi, ini adalah bukti
kemrosotan moral bangsa kita.
Oleh sebab itu, sebagai bangsa yang berketuhanan, tampaknya tidak
pantas jika sampai saat ini bangsa kita terus melakukan berbagai bentuk dosa
korupsi. Kita tahu bahwa Corruption by the best is the worst - dosa yang
dilakukan oleh orang baik merupakan dosa yang terburuk - maka pelanggaran
prinsip keagamaan oleh seorang yang (mengaku) bertaqwa akan mendatangkan
malapetaka yang berlipat ganda.
Dalam hal itu, kita melihat banyak orang di antara kita
menunjukkan kesenjangan antara yang diucapkan dan yang dikerjakan. Tidak saja
kita secara formal menganut suatu agama yang mengajarkan taqwa, bahkan banyak
dari kita yang merasa, atau mengaku, telah ber-taqwa kepada Tuhan, namun
bertingkah laku seolah-olah tidak ada Tuhan. Karena itu, para pengikut agama
dituntut untuk mengamalkan dengan sebaik-baiknya ajaran Tuhan dalam segala
bentuk kegiatan baik amaliyah maupun ubudiyah.
Keyakinan akan hadirnya Tuhan bagi setiap pengikut
agama, tampaknya juga mengalami degradasi. Bagaiman tidak? Keyakinan itu muncul
jika seorang tersebut mulai dilanda masalah, dan luntur ketika kebahagiaan
menghampiri. Tuhan seolah dinilai hanya hadir dalam ruang-ruang religi dan
tidak ikut campur dalam urusan lain selain religi. Paradigma yang seperti
inilah yang menjadi kesalahan kita. Bung Hatta pun pernah mengatakan, harusnya
semua kegiatan berlangsung di bawah kuasa Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana sila
pertama itu menyinari empat sila yang lain dalam Pancasila. Dan, sesuai
petunjuk agama bahwa asas hidup yang benar, termasuk hidup kenegaraan, ialah
taqwa dan ridla Allah.
Dengan begitu setiap kegiatan memiliki dasar metafisis,
sehingga menghasilkan komitmen total, yang tumbuh dari kesadaran bahwa semua
perbuatan dan tingkah laku manusia bermakna, dan akan dipertanggung jawabkan di
hadapan Tuhan. Dan, jika saja kita sadar akan hal itu, dan bahwa Tuhan selalu
hadir dalam semua ruang lingkup kehidupan kita, maka saya yakin, tidak akan ada
lagi korupsi di bangsa ini
D. Analisis Korupsi dan
Degradasi Moral Pejabat
Gagasan yang diajukan penulis adalah “Optimalisasi
Pencegahan Korupsi melalui Pembatasan Maksimal Dana Kampanye guna Menciptakan
Pemerintah yang Bersih”. Hal ini bisa dianalogkan, misalnya kita asumsikan
seorang bupati gaji pokoknya 6 juta/bulan dan tunjangannya 9 juta/bulan,
sedangkan modal kampanyenya 1 milyar dengan masa jabatan 4 tahun (48 bulan).
Jumlah total yang diterima selama menjabat sebagai bupati adalah 720 juta.
Padahal modalnya 1 milyar, sehingga hal ini rawan untuk mencari jalan pintas
yaitu korupsi. Sebab, jumlah itu masih belum dipotong keperluan rumah tangga
yang ‘tidak terduga’ lainnya lainnya. Dengan demikian, gagasan di atas sangat
penting dan bermanfaat bagi Negara ini dalam rangka memberantas mafia korupsi.
Sebab, selama ini pemerintahan masih belum maksimal dalam hal memberantas
korupsi, bahkan masih sebatas memberantas, tetapi belum mencapai atau belum
memiliki formula dalam mencegah terjadinya korupsi. Untuk itu, gagasan ini
sangat tepat jika diimplementasikan ke dalam pelaksanaan pemilihan umum di
negeri ini. Teknik implementasi yang akan dilakukan Adapun mekanisme untuk
mengimplementasikan gagasan ini adalah sebagai berikut: pertama, KPU menentukan
batasan maksimal dana untuk kampanye yang disetujui oleh para calon. Namun,
sebelum KPU memutuskan besar kecilnya jumlah nominal uang untuk modal promosi
(kampanye) terlebih dahulu para calon atau perwakilannya diajak untuk
berdiskusi. Akan tetapi, hal ini tidak harus, artinya KPU bisa langsung
menentukan jumlah maksimalnya meskipun tidak ’berunding’ dahulu, tetapi harus
berdasarkan analisa yang tepat dan benar. Hal ini bertujuan untuk efisiensi
biaya dan waktu yang diperlukan oleh KPU, karena kalau setiap ada masalah harus
’membentuk’ panitia tertentu atau musyawarah dengan pihak calon, maka akan
menghabiskan uang negara yang relatif besar. Sebab, hal ini akan memerlukan
waktu yang cukup lama, karena setiap calon pasti memiliki
kepentingan-kepentingan tertentu, dan hal ini akan membutuhkan waktu relatif
lama, karena pasti ada perbedaan yang terus dipertahankan dari masing-masing
calon atau team suksesnya. Dengan demikian, hal tidak secara langsung akan memerlukan
biaya yang relatif lebih banyak. Akhirnya, hal semacam ini terkesan seperti
proyek, dimana sebuah masalah bisa digunakan untuk ’lapangan pekerjaan’.
Padahal, rakyat sangat menanti perubahan yang lebih baik di negeri ini. Kedua,
ada team pengawas independent, artinya dalam melaksanakan gagasan ini
diperlukan team atau orang yang mengawasi dan mengontrol, tetapi pengawas ini
harus dari team endependen. Tujuannya, agar kinerjanya tidak dipengaruhi oleh
pihak-pihak yang berkepentingan. Selain itu, hal itu juga bertujuan untuk
melihat bagaimana kreativitas para calon atau para team sukses dalam
menjalankan aturan ini, yaitu melakukan penyimpangan atau melanggar aturan yang
telah dibuat dan disepakati bersama. Dalam hal ini bisa melibatkan lembaga
Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebab, lembaga ini sudah lebih lama menangani
tentang korupsi, sehingga sudah banyak makan garam dibandingkan lainnya dalam
hal menangani korupsi. Selain itu, memang lembaga ini ada karena untuk
memberantas korupsi. Akan tetapi, dalam melakukan hal tersebut juga bisa
melibatkan atau membuat team pengawas pemilihan umum (pemilu), tetapi lembaga
atau team ini harus yang independen juga, misalnya dari LSM atau ICW. Hal ini
diperlukan untuk menanggulangi halhal yang tidak diinginkan, seperti berpihak
kepada salah satu calon atau partai tertentu. Adapun tugas team tersebut adalah
mengawasi dan mengontrol jalannya pemilihan umum, khususnya pada penggunaan
dana kampanye yang sudah ditetapkan jumlah maksimalnya. Team ini pada masa
tenang dan setelah selesai pemilihan harus melaporkan pengawasan terhadap para
calon atas arus keuangan yang digunakan oleh masing-masing calon. Laporan ini
juga harus didukung oleh bukti-bukti pembayaran yang kuat, sehingga terhindar
dari manipulasi data. Ketiga, mengumpulkan arus keuangan. Dalam hal ini
masing-masing calon atau yang mewakilinya mengumpulkan arus penggunaan keuangan
kampanye dengan didukung bukti kepada team pengawas, lalu pengawas
menganalisanya lalu menyerahkan laporan tersebut kepada KPU. Dan apabila ada
keganjalan dalam laporan tersebut maka pengawas bisa langsung melaporkan kepada
KPU, lalu KPU menindak lanjutinya. Dengan demikian, hal tersebut akan
memberikan informasi seberapa besar jumlah uang yang digunakan promosi para
calon, sehingga jika ada yang melebihi batas maksimal bisa segeri ditindak
lanjuti. Hal ini tidak bertujuan untuk membatasi kreativitas para calon, tetapi
hanya mendorong para calon untuk lebih kreatif dan inovatif serta efisien dalam
melakukan kampanye, sehingga jika terpilih menjadi pemimpin bisa mengelola
keuangan pemerintah dengan efisien dan tepat. Sebab, biasanya kalau kondisi
seseorang terjepit (kritis) maka ide-ide yang luar biasa akan muncul. Misalnya,
dengan cara menggunakan sapndukspanduk yang sudah dipakai, tetapi masih layak
dipakai (daur ulang). Tujuannya, supaya para calon tidak saling jor-joran
promosi antara calon satu dengan lainnya. Dari penjelasan di atas dapat ditarik
benang merah bahwa akar dari terjadinya korupsi salah satunya adalah terlalu
banyaknya modal dalam promosi saat pemilu. Untuk itu, pembatasan jumlah dana
maksimal untuk kampanye merupakan salah satu solusi tepat dan cerdas dalam
mencegah terjadinya korupsi di negeri ini.
Prediksi hasil yang akan diperoleh Tahta dan jabatan di negeri ini
masih dijadikan idola banyak orang, sehingga tidak sedikit dari mereka yang
menjadikan jalan pintas untuk mencapainya, seperti dengan menggunakan uang
untuk mencapainya (money politics), bahkan untuk menjadi bupati saja rela
menghabiskan milyaran rupiah. Akibatnya, jabatan ini seolah seperti halnya
‘perusahaan’ yang orientasinya pada pengembalian modal dan laba. Padahal, kita
tahu sendiri bahwa jabatan itu bukan untuk ajang mengembalikan modal, tetapi
mengabdi dan menjalankan amanah yang diberikan rakyat. Dengan demikian, gagasan
ini dinilai memiliki prospek yang sangat bagus untuk mengatasi korupsi di
negeri ini, karena hal ini tidak lagi memberantas, tetapi mencegah terjadinya
korupsi. Sebab, koruptor di negeri ini seolah seperti hilang satu tumbuh
seribu, karena sangat sistematisnya, dan yang paling mendasar adalah pemerintah
masih dalam upaya memberantas, dimana kegiatan ini dilakukan setelah menemukan
indikator adanya korupsi. Namun, solusi yang ditawarkan dalam gagasan ini
adalah mencegah, artinya sebelum terjadi korupsi sudah diprotek terlebih
dahulu. Akhirnya, gagasan ini bisa dijadikan acuan untuk menciptakan pemerintah
yang bersih dan bermoral baik.
No comments:
Post a Comment