Wednesday 8 January 2014

korupsi dan moral pejabat



Hubungan Korupsi dan Degradasi Moral pada Pejabat

Edward Gibbon  mengatakan, Kemerosotan moral adalah penyebab hancurnya bangsa-bangsa di dunia. Kemrosotan moral atau bisa kita sebut “akhlaq”  Sejarah umat manusia telah banyak menyaksikan pelanggaran yang serupa dengan terjadinya kemerosotan moral (degradasi moral), dan akibatnya rezim-rezim, bangsa-bangsa runtuh, hancur tak tersisa. Sebab, semuanya itu akan menjerumuskan masyarakat kepada kemerosotan moral. Kemerosotan moral dengan gejala gaya hidup mewah berlebihan itulah penyebab utama hancurnya negara. Maka, usaha menegakkan standar moral merupakan salah satu urgensi bagi bangsa kita. Sekali lagi, lemahnya standar moral inilah yang menyebabkan kita sekarang mengalami banyak sekali penyelewengan dan kejahatan terutama “korupsi”, lebih-lebih korupsi dalam bentuk conflict of interest.
Perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia penuh dengan hambatan. Hal ini tampaknya disebabkan oleh masih melekatnya budaya feodalisme yang dulu pernah menggelayuti bangsa ini. Ciri utama feodalisme adalah penghambaan rakyat terhadap penguasa, dengan hirarki tinggi-rendah. Diyakini banyak orang bahwa merajalelanya korupsi merupakan lanjutan dari tradisi upeti masyarakat feodal itu.
Parahnya lagi, Jika kita lihat saat ini, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum. Seperti memberikan hadiah kepada pejabat atau pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan. Kebiasaan seperti itu tampak sama dengan sistem upeti yang dulu pernah terjadi di bangsa ini. Dan, kebiasaan koruptif inilah yang lama-kelamaan akan menjadi bibit-bibit korupsi yang nyata.
Ditambah dengan mengendornya moral dan dimensi kerohanian dalam pola hidup modern yang materialistik, orientasi hidup kebendaan, dikaitkan dengan feodalisme, menjadi tolak ukur tinggi rendahnya gengsi dan harga diri banyak orang, yang mengakibatkan semua ukuran manusia di Indonesia adalah materi dan hanya materi.
Dan, jika ada masalah mengenai materialisme atau kebendaan tersebut, maka terdapat indikasi yang aneh terhadap bangsa kita, mereka mulai kembali berbondong-bondong meminta bantuan kepada Tuhan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Di mana, masyarakat telah asyik dengan materinya, Tuhan tak pernah ada dalam ingatannya, dan jika materi itu telah hilang, seketika itu juga Tuhan dipaksa untuk hadir dalam ingatannya. Sekali lagi, ini adalah bukti kemrosotan moral bangsa kita.
Oleh sebab itu, sebagai bangsa yang berketuhanan, tampaknya tidak pantas jika sampai saat ini bangsa kita terus melakukan berbagai bentuk dosa korupsi. Kita tahu bahwa Corruption by the best is the worst - dosa yang dilakukan oleh orang baik merupakan dosa yang terburuk - maka pelanggaran prinsip keagamaan oleh seorang yang (mengaku) bertaqwa akan mendatangkan malapetaka yang berlipat ganda.
Dalam hal itu, kita melihat banyak orang di antara kita menunjukkan kesenjangan antara yang diucapkan dan yang dikerjakan. Tidak saja kita secara formal menganut suatu agama yang mengajarkan taqwa, bahkan banyak dari kita yang merasa, atau mengaku, telah ber-taqwa kepada Tuhan, namun bertingkah laku seolah-olah tidak ada Tuhan. Karena itu, para pengikut agama dituntut untuk mengamalkan dengan sebaik-baiknya ajaran Tuhan dalam segala bentuk kegiatan baik amaliyah maupun ubudiyah.
Keyakinan akan hadirnya Tuhan bagi setiap pengikut agama, tampaknya juga mengalami degradasi. Bagaiman tidak? Keyakinan itu muncul jika seorang tersebut mulai dilanda masalah, dan luntur ketika kebahagiaan menghampiri. Tuhan seolah dinilai hanya hadir dalam ruang-ruang religi dan tidak ikut campur dalam urusan lain selain religi. Paradigma yang seperti inilah yang menjadi kesalahan kita. Bung Hatta pun pernah mengatakan, harusnya semua kegiatan berlangsung di bawah kuasa Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana sila pertama itu menyinari empat sila yang lain dalam Pancasila. Dan, sesuai petunjuk agama bahwa asas hidup yang benar, termasuk hidup kenegaraan, ialah taqwa dan ridla Allah.
Dengan begitu setiap kegiatan memiliki dasar metafisis, sehingga menghasilkan komitmen total, yang tumbuh dari kesadaran bahwa semua perbuatan dan tingkah laku manusia bermakna, dan akan dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Dan, jika saja kita sadar akan hal itu, dan bahwa Tuhan selalu hadir dalam semua ruang lingkup kehidupan kita, maka saya yakin, tidak akan ada lagi korupsi di bangsa ini

D.    Analisis Korupsi dan Degradasi Moral Pejabat
Gagasan yang diajukan penulis adalah “Optimalisasi Pencegahan Korupsi melalui Pembatasan Maksimal Dana Kampanye guna Menciptakan Pemerintah yang Bersih”. Hal ini bisa dianalogkan, misalnya kita asumsikan seorang bupati gaji pokoknya 6 juta/bulan dan tunjangannya 9 juta/bulan, sedangkan modal kampanyenya 1 milyar dengan masa jabatan 4 tahun (48 bulan). Jumlah total yang diterima selama menjabat sebagai bupati adalah 720 juta. Padahal modalnya 1 milyar, sehingga hal ini rawan untuk mencari jalan pintas yaitu korupsi. Sebab, jumlah itu masih belum dipotong keperluan rumah tangga yang ‘tidak terduga’ lainnya lainnya. Dengan demikian, gagasan di atas sangat penting dan bermanfaat bagi Negara ini dalam rangka memberantas mafia korupsi. Sebab, selama ini pemerintahan masih belum maksimal dalam hal memberantas korupsi, bahkan masih sebatas memberantas, tetapi belum mencapai atau belum memiliki formula dalam mencegah terjadinya korupsi. Untuk itu, gagasan ini sangat tepat jika diimplementasikan ke dalam pelaksanaan pemilihan umum di negeri ini. Teknik implementasi yang akan dilakukan Adapun mekanisme untuk mengimplementasikan gagasan ini adalah sebagai berikut: pertama, KPU menentukan batasan maksimal dana untuk kampanye yang disetujui oleh para calon. Namun, sebelum KPU memutuskan besar kecilnya jumlah nominal uang untuk modal promosi (kampanye) terlebih dahulu para calon atau perwakilannya diajak untuk berdiskusi. Akan tetapi, hal ini tidak harus, artinya KPU bisa langsung menentukan jumlah maksimalnya meskipun tidak ’berunding’ dahulu, tetapi harus berdasarkan analisa yang tepat dan benar. Hal ini bertujuan untuk efisiensi biaya dan waktu yang diperlukan oleh KPU, karena kalau setiap ada masalah harus ’membentuk’ panitia tertentu atau musyawarah dengan pihak calon, maka akan menghabiskan uang negara yang relatif besar. Sebab, hal ini akan memerlukan waktu yang cukup lama, karena setiap calon pasti memiliki kepentingan-kepentingan tertentu, dan hal ini akan membutuhkan waktu relatif lama, karena pasti ada perbedaan yang terus dipertahankan dari masing-masing calon atau team suksesnya. Dengan demikian, hal tidak secara langsung akan memerlukan biaya yang relatif lebih banyak. Akhirnya, hal semacam ini terkesan seperti proyek, dimana sebuah masalah bisa digunakan untuk ’lapangan pekerjaan’. Padahal, rakyat sangat menanti perubahan yang lebih baik di negeri ini. Kedua, ada team pengawas independent, artinya dalam melaksanakan gagasan ini diperlukan team atau orang yang mengawasi dan mengontrol, tetapi pengawas ini harus dari team endependen. Tujuannya, agar kinerjanya tidak dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Selain itu, hal itu juga bertujuan untuk melihat bagaimana kreativitas para calon atau para team sukses dalam menjalankan aturan ini, yaitu melakukan penyimpangan atau melanggar aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Dalam hal ini bisa melibatkan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebab, lembaga ini sudah lebih lama menangani tentang korupsi, sehingga sudah banyak makan garam dibandingkan lainnya dalam hal menangani korupsi. Selain itu, memang lembaga ini ada karena untuk memberantas korupsi. Akan tetapi, dalam melakukan hal tersebut juga bisa melibatkan atau membuat team pengawas pemilihan umum (pemilu), tetapi lembaga atau team ini harus yang independen juga, misalnya dari LSM atau ICW. Hal ini diperlukan untuk menanggulangi halhal yang tidak diinginkan, seperti berpihak kepada salah satu calon atau partai tertentu. Adapun tugas team tersebut adalah mengawasi dan mengontrol jalannya pemilihan umum, khususnya pada penggunaan dana kampanye yang sudah ditetapkan jumlah maksimalnya. Team ini pada masa tenang dan setelah selesai pemilihan harus melaporkan pengawasan terhadap para calon atas arus keuangan yang digunakan oleh masing-masing calon. Laporan ini juga harus didukung oleh bukti-bukti pembayaran yang kuat, sehingga terhindar dari manipulasi data. Ketiga, mengumpulkan arus keuangan. Dalam hal ini masing-masing calon atau yang mewakilinya mengumpulkan arus penggunaan keuangan kampanye dengan didukung bukti kepada team pengawas, lalu pengawas menganalisanya lalu menyerahkan laporan tersebut kepada KPU. Dan apabila ada keganjalan dalam laporan tersebut maka pengawas bisa langsung melaporkan kepada KPU, lalu KPU menindak lanjutinya. Dengan demikian, hal tersebut akan memberikan informasi seberapa besar jumlah uang yang digunakan promosi para calon, sehingga jika ada yang melebihi batas maksimal bisa segeri ditindak lanjuti. Hal ini tidak bertujuan untuk membatasi kreativitas para calon, tetapi hanya mendorong para calon untuk lebih kreatif dan inovatif serta efisien dalam melakukan kampanye, sehingga jika terpilih menjadi pemimpin bisa mengelola keuangan pemerintah dengan efisien dan tepat. Sebab, biasanya kalau kondisi seseorang terjepit (kritis) maka ide-ide yang luar biasa akan muncul. Misalnya, dengan cara menggunakan sapndukspanduk yang sudah dipakai, tetapi masih layak dipakai (daur ulang). Tujuannya, supaya para calon tidak saling jor-joran promosi antara calon satu dengan lainnya. Dari penjelasan di atas dapat ditarik benang merah bahwa akar dari terjadinya korupsi salah satunya adalah terlalu banyaknya modal dalam promosi saat pemilu. Untuk itu, pembatasan jumlah dana maksimal untuk kampanye merupakan salah satu solusi tepat dan cerdas dalam mencegah terjadinya korupsi di negeri ini.
Prediksi hasil yang akan diperoleh Tahta dan jabatan di negeri ini masih dijadikan idola banyak orang, sehingga tidak sedikit dari mereka yang menjadikan jalan pintas untuk mencapainya, seperti dengan menggunakan uang untuk mencapainya (money politics), bahkan untuk menjadi bupati saja rela menghabiskan milyaran rupiah. Akibatnya, jabatan ini seolah seperti halnya ‘perusahaan’ yang orientasinya pada pengembalian modal dan laba. Padahal, kita tahu sendiri bahwa jabatan itu bukan untuk ajang mengembalikan modal, tetapi mengabdi dan menjalankan amanah yang diberikan rakyat. Dengan demikian, gagasan ini dinilai memiliki prospek yang sangat bagus untuk mengatasi korupsi di negeri ini, karena hal ini tidak lagi memberantas, tetapi mencegah terjadinya korupsi. Sebab, koruptor di negeri ini seolah seperti hilang satu tumbuh seribu, karena sangat sistematisnya, dan yang paling mendasar adalah pemerintah masih dalam upaya memberantas, dimana kegiatan ini dilakukan setelah menemukan indikator adanya korupsi. Namun, solusi yang ditawarkan dalam gagasan ini adalah mencegah, artinya sebelum terjadi korupsi sudah diprotek terlebih dahulu. Akhirnya, gagasan ini bisa dijadikan acuan untuk menciptakan pemerintah yang bersih dan bermoral baik.

No comments:

Post a Comment