Tuesday 11 June 2013

tasawuf



A. PENDAHULUAN

1. Pengertian Tasawuf

Tasawuf adalah khasanah keagamaan Islam yang sudah ada semenjak Rasulluloh SAW, walaupun dalam perkembangan berikutnya bentuk dan corak tasawuf itu berbeda dengan yang pernah dipraktekan oleh Rasulluloh SAW. Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution, misalnya menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-suffah ( ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah, saf (barisan dalam sholat), sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: hikmat), dan suf ( kain yang dibuat dari kain wol). Keseluruhan kata-kata ini bisa saja dihubungkan dengan tasawuf.


Dari segi Linguistik (kebahasaan) ini segera dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu ahli amat tergantung pada sudut pandang yang digunakannya masing- masing. Ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebgai makhluk terbatas, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia,dan memusatkan perhatiyan hanya kepada Allah SWT. Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang,maka tasawuf dapat di definisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Terakhir terlihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan,maka tasawuf didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (Ke-Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju pada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang di maksud dengan tasawuf ialah suatu ketekunan dalam beribadah, persembahan yang berhubungan langsung dengan Allah (sufi), menjauhkan diri dari hal kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap yang di buru oleh kebanyakan manusia, seperti kelezatan dan harta benda dan selalu menghindarkan diri dari makhluk di dalam berkhalwat (mengasingkan diri) untuk beribadah.

2. Ajaran Tasawuf

Didalam mempelajari ilmu tasawuf banyak sekali didalamnya mengandung berbagai macam ajaran-ajaran, diantaranya:
a) Takhali, tahalli dan tajalli
b) Munajat, muraqabah dan muhasabah
c) Syari’at, thariqat dan ma’rifat 

Dari berbagai macam ajaran-ajaran tasawuf yang disebutkan di atas dapat diambil pengertian secara garis besar sebagai berikut:

a) Takhali, Tahalli dan Tajalli
Takhalli ialah membersihkan diri dari sifat-sifat tercelah, dari maksiat lahir dan bathin. Tahalli bearti mengisi diri dengan perilaku yang baik, dengan taat lahir, dan bathin, setelah dikosongkan dari perilaku maksiat dan tercelah. Tajalli berarti merupakan tingkat kesempurnaan pendidikan mental yang berarti tersingkapnya cahaya ghaib untuk hati.

b) Munajat, Muraqabah dan Muhasabah
Munajat ialah melaporkan segala aktivitas yang dilakukan kehadirat Allah SWT. Muraqabah merupakan suatu sikap mental yang senantiasa melihat, dan memandang, baik dalam keadaaan bergerak atau diam, baik dalam keadaan lapang atau susah, bahwa diri kita senantiasa terasa berhadapan dengan Allah atau senantiasa dalam pengawasan Allah SWT. Muhasabah berarti memperhitungkan terhadap amal perbuatan yang telah kita lakukan. Dengan demikian, sikap muraqabah dan muhasabah adalah sikap mental yang harus senantiasa ditanamkan dalam diri agar kualitas iman dan ibadah semakin meningkat,demikian pula, kedalaman dan kepekaan rohani akan terbangun,sehingga jiwa akan menuju kepada kebersihan diri untuk menuju kehadirat Illahi.

c) Syari’at, Thariqat dan Ma’rifat
Syari’at adalah undang-undang dari garis yang telah ditentukan berupa hukum-hukum halal dan haram, yang diperintahkan dan yang dilarang. Thariqat adalah suatu jalan yang ditempuh oleh para sufi yang berpangkal dari syari’ah. Sedangkan ma’rifat adalah kumpulan ilmu pengetahuan, perasaan, pengalaman dan ibadah terhadap Allah SWT (syariat) dengan kesediaannya menempu jalan (thariqat) untuk mencapai hakikat.
Sesuai dengan judul pada makalah ini yaitu tentang ajaran thariqat dalam ilmu tasawuf, maka pada pembahasan pada makalah ini dibatasi pada ruang lingkup pengertian, unsur-unsur, dan tata cara dalam thariqat, serta thariqat yang berkembang di Indonesia.

B. PEMBAHASAN

1) PENGERTIAN THARIQAT

Dari segi bahasa, thariqat atau ada yang menyebut tarekat berasal dari bahasa Arab yang berarti jalan atau petunjuk jalan atau cara, metode, sistem (al-uslub), mazhab, aliran, keadaan (al-halah), tiang tempat berteduh, tongkat, dan payung (‘amud al-mizalah). Secara singkat dapat disebutkan bahwa thariqat adalah suatu jalan, keadaan, atau petunjuk agar sampai pada suatu tujuan yaitu pada Allah SWT. Dalam firman Allah, “Dan bahwasannya jika mereka tetap (istiqomah)menempuh jalan (thariqat), sesungguhnya akan Kami beri minum mereka dengan air yang berlimpah ruah (rezeki yang banyak).”(QS. 73:26) 

Berbagai definisi pun dikemukakan oleh para ahli, dalam berbagai buku diataranya diungkapkan oleh Abuddin Nata yang menyatakan bahwa thariqat adalah jalan yang bersifat spiritual bagi seorang sufi ynag di dalmnya berisi amalan ibadah dan yang lainnya yang bertemakan menyebut nama Allah dan sifat-sifatnya disertai penghayatan yang mendalam. Amalan dalam thariqat ini ditunjukan untuk memperoleh hubungan sedekat mungkin dengan Tuhan. Thariqat dapat didefinisikan juga sebagai sistem atau metode untuk mengenal dan merasakan adanya Tuhan, yakani seorang dapat melihat Tuhannya dengan mata hatinya. 

Dalam bukunya, Mukhtar Hadi mendefinisikan thariqat sebagai jalan atau cara yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri pada Tuhan itu sendiri terdiri dari dua bagian (mujahadah) yang berupa renungan batin dan berbagai macam latihan rohani (riyalat) yang ditentukan dan diatur oleh para sufi sendiri. Renungan batin atau disebut juga renungan salafi, yaitu filsafat kebatinan yang terdiri dari mawas diri, penguasaan nafsu-nafsu, pembinaan akhlak mulia dan memuncak pada membersihkan hati dengan keinginan hanya pada Allah saja. Sedangkan pada bagian kedua yakni riyalat bersifat praktis yaitu sebagai sarana pemusatan fikiran dan kesadaran hanya pada zat Allah dengan penuh emosional (rindu dendam). 

Pada perkembangan selanjutnya, thariqat lalu diartikan sebagai suatu organisasi (kumpulan) yang memiliki syaikh yaitu guru thariqat, upacara riyual dan bentuk zikir tertentu. Organisasi tersebut biasanya dilakukan pada suatu tempat (asrama) yang disebut Ribath atau Zawiyah yang di dalamnya terdapat kitab-kitab yang digunakan untuk mempelajari ajaran thariqat, tentang zikir atau perjanjian-perjanjian tertentu antara murid dan gurunya yang disebut baiat. 

2) UNSUR-UNSUR THARIQAT

Dalam ajaran thariqat terdapat beberapa unsur atau ciri yang secara umum dimiliki oleh organisasi-organisasi thariqat. Unsur-unsur tersebut antara lain sebagai berikut:

a) Adanya Syekh (Mursyid, Darwish, Guru)
Dalam organisasi thariqat, adanya Syekh atau guru sangat penting, karena tidak saja berperan sebagai pemimpin yang mengawasi muridnya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga sebagai pemimpin kerohanian yang tinggi kedudukannya. Ia yang akan menuntun murid-muridnya pada tujuan thariqat serta sebagai penghubung antara murid dengan Tuhan. Untuk menjadi seorang Syekh tidaklah mudah. Selain harus memiliki pengetahuan yang lengkap tentang thariqat, ia juga harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang murni. Syekh memiliki wakil yang disebut dengan Khalifah.

Pada mulanya, para ulama sufi menganjurkan agar orang-orang yang menempuh jalan tasawuf (thariqat) memerlukan seorang guru (syekh) yang berpengalaman sebagai penasihat, terutama dalam penyucian hati dengan meniti maqom-maqom kenaikan rohani, yakni agar tidak tersesat dan dan dapat mengendalikan hawa nafsu. Kemudian dengan munculnya berbagai kelompok (organisasi) thariqat, fungsi guru bukan lagi terbatas pada pengamat dan penasihat, tetapi guru juga menjadi pengajar dan pembimbing para murid dalam mengamalkan teknik-teknik zikir dan ajaran-ajaran yang diberikan oleh guru mereka. 

b) Murid

Pengikut thariqat disebut murid, yaitu orang yang menghendaki pengetahuan dan petunjuk-petunjuk dalam segala amal ibadahnya. Murid-murid tersebut terdiri dari laki-laki dan perempuan baik masih belum dewasa maupun sudah lanjut usia. Murid-murid ini tidak hanya harus mempelajari segala macam pengetahuan tentang ilmu thariqat, tetapi juga harus mematuhi segala adab dan akhlak yang berlaku baik pada dirinya, pada Syekhnya atau pada murid lainnya.

Keberadaan murid dihadapan gurunya ibarat mayit atau bangkai yang tak berdaya apa-apa. Ia seperti seorang yang memasrahkan dirinya secara total pada guru atau Syekhnya. Karena thariqat adalah jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri pada Allah, maka seorang murid harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1) Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama.
2) Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak dan guru, dan melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya.
3) Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki.
4) Berbuat dan mengisi waktu seefesien mungkin dengan segala wirid dan doa guna pemantapan dan kekhusuan dalam mencapai maqomat yang lebih tinggi.
5) Mengekang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal. 

c) Silsilah

Silsilah dalam ajaran thariqah mengacu pada garis keguruan beruap urutan-urutan nama para guru yang mangajarkan dasar-dasar thariqat secara turun menurun. Silsilah itu bagaikan kartu nama dan legitimasi seorang guru, yaitu menunjukkan ke cabang thariqat mana ia termasuk dan bagaimana hubungannya dengan guru-guru thariqat lainnya. 

d) Zikir dan Wirid

Zikir dan wirid adalah salah satu teknik untuk bermeditasi dan berkonsentrasi dalam rangkai mencapai ma’rifatullah. Teknik-teknik ini disusun oleh guru-guru thariqat yang kemudian dipergunakan untuk membimbing murid-muridnya. Masing-masing organisasi thariqat memiliki bentuk zikir dan wirid yang berbeda-beda.

e) Baiat, Ijazah dan Khalifah

Baiat berisi janji dan sumpah setia kepada syekh dan hal-hal lain yang berkenaan dengan aturan-aturan thariqat. Pembaiatan dilakukan oleh seorang murid yang akan memasuki wilayah thariqat.
Apabila seorang murid telah mempelajari dasar-dasar thariqat dan telah memperlihatkan kemajuan yang memadai untuk melaksanakan latihan-latihan sendiri, gurunya akan memberikan ijazah, yaitu suatu surat keterangan yang memberikan kekuasaan kepada murid untuk melanjutkan dan mengajarkan thariqat pada orang lain. 

Setelah itu, ia lalu menyandang gelar sebagai Khalifah (wakil) gurunya dan ia sudah boleh untuk diutus gurunya ke suatu tempat guna menyebarkan ajaran thariqat tersebut.

f) Khalwat dan Suluk

Khalwat adalah kegiatan menyepi untuk sementara waktu dari kesibukan duniawi. Di Indonesia istilah suluk yang secara harfiah berarti menempuh jalan spiritual, lebih lazim digunakan dan lamanya biasanya sepuluh atau dua puluh hari.

Selama melakukan khalwat, seseorang makan dan minum sedikit sekali. Hampir seluruh waktunya digunakan untuk berzikir dan tidak berbicara kecuali pada syekhnya dan hanya terbatas pada soal-soal kerohanian saja. 

3) THARIQAT YANG BERKEMBANG DI INDONESIA

a) Thariqat Qodariyyah

Thariqat ini didirikan oleh seorang guru (syekh) sufi yang terkenal, yaitu Syekh Abdul Qodir Jailani di Baghdad. Beliau dilahirkan tahun 470 H (1255 M) dan meninggal pada tahun 562 H. Murid-murid Syekh Abdul Qadir Jailani tersebar dimana-mana dan thariqatnya berkembang ke seluruh dunia Islam termasuk Indonesia. Pengaruh thariqat ini cukup banyak meresap di hati masyarakat yang dituturkan lewat bacaan manaqib pada acara-acara tertentu. 

Thariqat ini berkembang dengan pesat. Pada awalnya, murid-murid-murid Syekh Abdul Qadir Jailani mendapatkan ijazah, lalu dengan ijazah ini, murid-murid tersebut mengadakan cabang dari thariqat yang ada di pusat, yaitu Baghdad. Kemudian murid lain pun mengadakan thariqat di tempat lain dimana dia berada, dan seterusnya sampai thariqat Qodiriyyah ini berkembang ke berbagai belahan dunia Islam, seperti Iraq, Turki, India, China, Sudan, Maroko dan Indonesia.

b) Thariqat Rifaiyyah

Thariqat ini didirikan oleh Syekh Ahmad bin Abi al-Hasan al-Rifai, yang meninggal di Umm Abidah pada tanggal 22 Jumadil Awal tahun 578 H (1175 M). Thariqat Rifaiyyah termasuk suatu thariqat besar dengan pengaruh dan pengikut yang besar pula, pendirinya sendiri termasuk seorang yang luar biasa. Banyak pengikutnya sampai sekarang di Mesir. 

Ciri thariqat ini adalah penggunaan tabuhan rabana dalam wiridnya, yang diikuti dengan tarian dan permainan debus. Permainan debus ini berkembang pula di daerah Sunda, khususnya Banten, Jawa Barat.
Salah satu tujuan dari thariqat ini adalah melatih muridnya tahan api, tahan dilukai dan debus (berjalan di atas pecahan kaca) dan mematukkan dirinya sendiri pada ular berbisa. Apabila mereka tidak merasa lagi sakitnya dilukai, dipatuk ular atau menelan kaca dan berjalan di atas api, hal itu pertanda murid itu pertanda murid itu sudah mencapai fana. 

c) Thariqat Naqsyabandiyyah

Thariqat ini didirikan oleh Muhammad Baha’al-Din al- Naqsyabandy (717-791 H/1318-1389 M). Salah satu ajaran dari thariqat Naqsyabandiyyah adalah berzikir di dalam hati atau zikir dengan cara Sirr, tidak dilahirkan. Thariqat ini berkembang di Afghanistan, India, termasuk juga ke Indonesia, yaitu daerah Sumatra, Jawa, maupun Sulawesi.

d) Thariqat Samaniyyah

Thariqat ini didirikan oleh Syekh Saman yang meninggal pada tahun 1720 M di Madinah. Thariqat ini banyak tersebar luas di Aceh, dan memiliki pengaruh yang besar pada daerah ini, juga di Palembang serta daerah lainnya di Sumatra.

Ciri thariqat ini adalah zikirnya dengan suara keras dan melengking, khususnya ketika mengucapkan lafadz la ilaha illa Allah. Juga terkenal dengan nama ratib Saman yang hanya mempergunakan perkataan “hu”, yang artinya Dia Allah. Syekh Saman ini juga mengajarkan agar memperbanyak sholat dan zikir, kasih pada fakir miskin, jangan mencintai dunia, menukar akal basyariyyah dengan akal robaniyyah, beriman hanya kepada Allah dengan tulus ikhlas. 

e) Thariqat Syadziliyyah

Thariqat ini didirikan oleh Abu al-Hasan al-Syadzili, seorang sufi aliran suni. Dia berasal dari Sadzilah, Tunisia dan di sana ia bersama para muridnya pergi ke Mesir lalu tinggal di kota Iskandariyyah, sekitar tahun 642 H. Thariqat ini berkembang di Andalusia, Indonesia, Afrika Utara, Afrika Barat, Mesir, dan berbagai negara Arab lainnya. 

f) Thariqat Khalwatiyyah

Thariqat ini didirikan oleh Syekh Zahiruddin di Khurosan dan merupakan cabang dari thariqat Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu al- wajib al-Suhrawardi. Thariqat ini mula-mula tersiar di Banten pada masa pemerintahan Tirtayasa.

Thariqat ini banyak pengikutnya di Indonesia karena suluk dari thariqat ini sangat sederhana dalam pelaksanaannya. Untuk membawa jiwa dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi melalui tujuh tingkat, yaitu peningkatan dari nafsu amarah, lawwamah, mulhammah, muthmainah, radhiyyah, mardiyyah dan nafsu kamilah. 

4) TATA CARA PELAKSANAAN THARIQAT

Tata cara pelaksanaan thariqat antara lain sebagai berikut:

a) Zikir, yaitu ingat yang terus-menerus kepada Allah dalam hati serta menyebutkan namanya dengan lisan. Zikir ini berguna sebagai alat kontrol bagi hati, ucapan dan perbuatan agar tidak menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan Allah.
b) Ratib, yaitu mengucap lafal la ilaha illa Allah dengan gaya, gerak dan irama tertentu.
c) Muzik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan bunyi-bunyian (instrumentalia) seperti memukul rebana.
d) Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan-bacaan tertentu untuk menimbulkan kekhidmatan.
e) Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir yang tertentu.


C. PENUTUP

Dari pembahasan yang kami uraikan diatas dapat disimpulkan bahwa thariqat adalah jalan yang bersifat spiritual bagi seorang sufi ynag di dalmnya berisi amalan ibadah dan yang lainnya yang bertemakan menyebut nama Allah dan sifat-sifatnya disertai penghayatan yang mendalam.Thariqat memiliki unsur-unsur yang harus dilaksanakan yaitu adanya syekh, murid, silsilah, dzikir, wirid, ijazah, dll.
Thariqat pada umumnya dilaksanakan melalui cara antara lain yaitu dengan melakukan zikir yang berguna sebagai alat pengontrol hati.

DAFTAR PUSTAKA

Hadi, Mukhtar.2009. Memahami Ilmu Tasawuf. Aura Media:Yogyakarta
Nata, Abuddin.2002. Akhlak Tasawuf. RajaGrafindo Pustaka: Jakarta, cet. IV
As, Asmaran. 1996. Pengantar Study Tasawuf. RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Simuh. 1997. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. RajaGrafindo Persada: Jakarta, cet.II
http://id.wikipedia.org/wiki/Tarekat


Saturday 8 June 2013

sistem pendidikan dalam pesantren


SISTEM PENDIDIKAN DALAM PESANTREN
Makalah Ini Dibuat Guna Melengkapai Tugas Mata Kuliah Study Pesantren yang diampu oleh Bapak Ghurfon Efendi, M.Pd



Oleh :
1.      Ahmad Saiful rijal
2.      Titi Suwarni
3.      Nisafina Fuaini


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS SAINS AL QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu, serta telah menjangkau hamper seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada masa kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia pendidikan. Tidak sedikit pemimpin bangsa yang ikut memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.
Namun, kini reputasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Mayoritas pesantren masa kini terkesan berada di menara gading, elitis, jauh dari realitas social. Problem sosialisasi dan aktualisasi ini ditambah lagi dengan problem keilmuan, yaitu terjadi kesenjangan, alienasi (keterasingan) dan differensiasi (pembedaan) antara keilmuan pesantren dengan dunia modern. Sehingga terkadang lulusan pesantren kalah bersaing atau tidak siap berkompetisi dengan lulusan umum dalam urusan profesionalisme di dunia kerja. Dunia pesantren dihadapkan kepada masalah-masalah globalisasi, yang dapat dipastikan mengandung beban tanggung jawab yang tidak ringan bagi pesantren.
Semakin disadari, tantangan dunia pesantren semakin besar dan berat dimasa kini dan mendatang. Paradigma “mempertahankan warisan lama yang masih relevan dan mengambil hal terbaru yang lebih baik” perlu direnungkan kembali. Pesantren harus mampu mengungkai secara cerdas problem kekiniankita dengan pendekatan-pendekatan kontemporer. Disisi lain, modernitas, yang menurut beberapa kalangan harus segera dilakukan oleh kalangan pesantren, ternyata berisi paradigm dan pandangan dunia yang telah merubah cara pandang lama terhadap dunia itu sendiri dan manusia.
Dalam konteks yang dilematis ini, pilihan terbaik bagi insane pesantren adalah mendialogkannya dengan paradigm dan pandangan dunia yang telah diwariskan oleh generasi pencerahan Islam. Maksudnya, insane pesantren perlu memosisikan warisan masa lalu sebagai “teman dialog” bagi modernitas dengan segala produk yang ditawarkannya. Mereka harus membaca khazanah lama dan baru dalam frame yang terpisah. Masa lalu hadir atau dihadirkan dengan terang dan jujur, lalu dihadapkan dengan kekinian. Boleh jadi masa lalu tersebut akan tampak “basi” dan tak lagi relevan, namun tak menutup kemungkinan masih ada potensi yang dapat dikembangkan untuk zaman sekarang.
Salah satu hal yang perlu dimodifikasi adalah system pendidikan pesantren. System pembelajaran tradisional, yaitu sorogan, bandongan, balaghan, atau halaqah seharusnya mulai diseimbangkan dengan system pembelajaran modern. Dalam aspek kurikulum juga seharusnya kalangan pesantren berani mengakomodasi dari kurikulum pemerintah.
B.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian pesantren?
2.      Apa saja macam-macam pesantren?
3.      Bagaimana dinamika pesantren mulai ada hingga sekarang?
4.      Bagaimana system pendidikan pesantren?
5.      Apa saja dan bagaimana model pendidikan dalam proses modernisasi system pendidikan pesantren?
6.      Apa pengaruh modernisasi system pendidikan pesantren terhadap eksistensi pesantren itu sendiri



BAB II
PESANTREN
A.    Pengertian Pesantren
Secara bahasa, kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan akhiran -an (pesantrian) yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan kata santri sendiri berasal kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf. Dalam hal ini menurut Nur Cholis Majid agaknya didasarkan atas kaum santri adalah kelas literary bagi orang jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.
Sedangkan secara istilah, Husein Nasr mendefinisikan pesantren dengan sebutan dunia tradisional Islam. Maksudnya, pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama’ (kiai) dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam.
Di Indonesia, istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan pesantren, pondok berasal dari bahasa Arab funduq, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal sederhana.Dari terminology diatas, mengindikasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Mungkin dari sinilah Nur Cholis Majid berpendapat bahwa secara historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab, memang cikal bakal lembaga pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya.
B.     Dinamika Pesantren
Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke-18. 17 bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren. 18 Pesantren pertama didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim. 19 Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur. Sehingga pendidikan ini dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.
Lembaga ini semakin berkembang pesat dengan adanya sikap non kooperatif para ulama terhadap kebijakan “politik etis” pemerintah kolonial Belanda dengan memberikan pendidikan modern, termasuk budaya barat. Namun pendidikan yang diberikan sangat terbatas, hanya sekitar 3% penduduk Indonesia. Berarti sekitar 97% penduduk Indonesia buta huruf. Sikap para ulama tersebut dimanifestasikan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi Belanda serta memberi kesempatan kepada rakyat yang belum mendapat pendidikan.
Pada tahun 1860-an, jumlah pesantren mengalami peledakan jumlah yang sangat signifikan, terutama di Jawa yang diperkirakan 300 buah. Perkembangan tersebut ditengarai berkat dibukanya terusan Suez pada 1869 sehingga memungkinkan banyak pelajar Indonesia mengikuti pendidikan di Mekkah. Sepulangnya ke kampung halaman, mereka membentuk le,baga pesantren di daerahnya masing-masing.
Pada era 1970-an, pesantren mengalami perubahan yang sangat signifikan yang tampak dalam beberapa hal. Pertama, peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa pada tahun 1977, ada 4.195 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 667.384 orang. Jumlah tersebut meningkat menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397 orang santri pada tahun 1981. kemudian jumlah tersebut menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 5,9 juta orang pada tahun 1985.23Kedua, menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Perkembangan bentuk-bentuk pendidikan di pesantren tersebut diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:
1.      Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan  maupun yang juga memiliki sekolah umum. Seperti Pesantren Denanyar Jombang, Pesantren Darul Ulum Jombang, dan lain-lain.
2.      Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan agama dalam bentuk Madrasah Diniyah, seperti Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Ploso Kediri, Pesantren Sumber Sari Kediri, dan lain sebagainya.
3.      Pesantren  yang  hanya  sekedar  manjadi  tempat pengajian, seperti Pesantren milik Gus Khusain Mojokerto.
2.      Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk Madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional. Dengan kata lain, ia mengunakan kurikulum sendiri. Seperti Pesantren Modern Gontor Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta. kurikulum sendiri. Seperti Pesantren Modern Gontor Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta.
Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa pesantren ada yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisinya secara turun temurun, tanpa ada perubahan dan improvisasi yang berarti, kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren yang kurikulumnya berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya. 28
Meskipun demikian, semua perubahan itu, sama sekali tidak mencerabut pesantren dari akar kulturnya. Secara umum pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai: (1) Lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fi addin) dan nilai-nilai islam (Islamic values). (2) Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control). (3) Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (Social engineering). Perbedaan-perbedaan tipe pesantren diatas hanya berpengaruh pada bentuk aktualisasi peran-peran ini.




BAB III
MODERNISASI PENDIDIKAN PESNTREN
A.  Model Modernisasi Pendidikan Pesantren
Modernisasi atau inovasi pendidikan pesantren dapat diartikan sebagai upaya untuk memecahkan masalah pendidikan pesantren. Atau dengan kata lain, inovasi pendidikan pesantren adalah suatu ide, barang, metode yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang , baik berupa hasil penemuan (invention) maupun discovery, yang digunakan untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah pendidikan pesantren.
Miles mencontohkan inovasi (modernisasi) pendidikan adalah sebagai berikut
1.      Bidang personalia. Pendidikan yang merupakan bagian dari sistem sosial, tentu menentukan personel sebagai komponen sistem. Inovasi yang sesuai dengan komponen personel misalnya adalah peningkatan mutu guru, sistem kenaikan pangkat, dan sebagainya. 31 Dalam hal ini, pesantren telah di bantu dengan adanya program Beasiswa S1 untuk guru diniyah oleh Departemen Agama.
2.      Fasilitas fisik. Inovasi pendidikan yang sesuai dengan komponen ini misalnya perubahan tempat duduk, perubahan pengaturan dinding ruangan perlengkapan Laboratorium bahasa, laboratorium Komputer, dan sebagainya. 32
3.      Pengaturan waktu. Suatu sistem pendidikan tentu memiliki perencanan penggunaan waktu. Inovasi yang relevan dengan komponen ini misalnya pengaturan waktu belajar, perubahan jadwal pelajaran yang dapat memberi kesempatan siswa/mahasiswa untuk memilih waktu sesuai dengan keperluannya, dan lain sebagainya.
Menurut Nur Cholis Majid, yang paling penting untuk direvisi adalah kurikulum pesantren yang biasanya mengalami penyempitan orientasi kurikulum. Maksudnya, dalam pesantren terlihat materinya hanya khusus yang disajikan dalam bahasa Arab. Mata pelajarannya meliputi fiqh, aqa’id, nahwu-sharf, dan lain-lain. Sedangkan tasawuf dan semangat keagamaan yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan cenderung terabaikan. Tasawuf
hanya dipelajari sambil lalu saja, tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih berfungsi dalam masyarakat zaman modern. Disisi lain, pengetahuan umum nampaknya masih dilaksanakan secara setengah-setengah, sehingga kemampuan santri biasanya samgat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari masyarakat umum. Maka dari itu, Cak Nur menawarkan kurikulum Pesantren Modern Gontor sebagai model modernisasi pendidikan pesantren.
B.  Plus Minus Modernisasi Pendidikan Pesantren
Dalam menanggapi gagasan ini, tampak kalangan pesantren terbelah menjadi dua, yaitu pro dan kontra. Adanya kontroversi ini mungkin lebih disebabkan pada perbedaan pendapat mereka tentang bagaimana sikap pesantren dalam menghadapi era globalisasi. Mereka yang pro mengatakan bahwa modernisasi pesantren akan memberi angin segar bagi pesantren. Mereka menganggap bahwa banyak sisi positif yang akan diperoleh dengan modernisasi pendidikan di pesantren. Di antara sisi positif tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Sebagai bentuk adaptasi pesantren terhadapperkembangan era globalisasi. Hal ini mutlak harus dilakukan agar pesantren tetap eksis.
2.      Sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan dalam sistem pendidikan pesantren.
Sedangkan bagi kalangan pesantren yang tidak setuju dengan gagasan modernisasi berpendapat bahwa gagasan tersebut banyak sisi negatifnya, diantaranya adalah: Modernitas akan merubah cara pandang lama terhadap dunia dan manusia.
Terlepas dari polemik tersebut, perbedaan pendapat yang terjadi telah mendatangkan sisi positif tersendiri bagi pesantren. Hal itu telah membuktikan hadits Nnabi Muhammad Saw ”ikhtilafu ummati rahmatun” yang artinya ”perbedaan pendapat dalam umatku adalah rahmat”. Diantara manfaat dari perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah: Melahirkan banyak pesantren yang bervariasi. Banyak pesantren yang memiliki ciri khas masing-masing. Ini memberikan banyak pilihan kepada calon santri dalam menentukan pesantren yang sesuai dengan bakat, minat serta cita-citanya.
Lahirnya santri yang beraneka ragam. Hal ini mengubur paradigma bahwa santri hanya mampu di bidang agama saja. Saat ini, banyak sekali santri yang ahli di bidang pengetahuan umum.
BAB IV
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu, serta telah menjangkau hamper seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada masa kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia pendidikan. Tidak sedikit pemimpin bangsa yang ikut memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.
Secara bahasa, kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan akhiran -an (pesantrian) yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan kata santri sendiri berasal kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf. Dalam hal ini menurut Nur Cholis Majid agaknya didasarkan atas kaum santri adalah kelas literary bagi orang jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.
Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke-18. 42 Bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-13. saat ini, pekembang pesantren sangat pesat. Pada awal perkembangannya hanya berjumlah 300 buah, dan berkembang menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 5,9 juta orang pada tahun 1985. 43 bisa dibayangkan berapa banyak jumlah pesantren dan santrinya saat ini.
Gagasan modernisasi dianggap perlu dilakukan oleh beberapa kalangan, salah satunya adalah Nur Cholis Majid. Ia berpendapat bahwa modernisasi ini sebaiknya dilakukan dengan model sistem pendidikan Pesantren Modern Gontor Ponorogo.
DAFTAR PUSTAKA
A’la,  Abd.  2006.  Pembaruan  Pesantren,cet  I.  Yogyakarta:  PT.  LKiS Pelangi Aksara.
Iskandar,  Muhaimin.  2007.  Gus  Dur,  Islam  dan  Kebangkitan  Indonesia, Cet.I. Jakarta: KLIK R.
Khozin. 2006. Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. II. Malang: UMM Press.
Malik, Jamaludin. 2005. Pemberdayaan Pesantren, Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan, Cet. I,Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulton Mashud, Moh. Khusnuridho. 2005. Manajemen Pondok Pesantren,Cet. II. Jakarta: Diva Pustaka
Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap PendidikanIslam Tradisional,Jakarta: Ciputat Press.